Kenapa naik
gunung? Sementara masih banyak pantai yang yang menawarkan pesonanya. Kenapa
naik gunung? Sementara masih banyak tempat wisata yang menawarkan keindahannya.
Kenapa naik gunung? Karena ada kesempatan. Kesempatan untuk mengenal diri,
orang lain, alam dan Sang Maha dengan cara berbeda. Everyone has a reason to
do something, right?
Tanggal 5-7 Mei 2016 udah ditandai jauh-jauh hari untuk melakukan perjalanan ini. Long weekend buat kita para mahasiswa yang juga diamanahi sambil bekerja adalah moment yang sangat jarang ditemui. Destinasi yang dipilih adalah sebuah daerah bernama Dieng. Alam yang dingin nan cantik ini akan mengisi episode perjalanan saya dan teman-teman kali ini.
Tanggal 5-7 Mei 2016 udah ditandai jauh-jauh hari untuk melakukan perjalanan ini. Long weekend buat kita para mahasiswa yang juga diamanahi sambil bekerja adalah moment yang sangat jarang ditemui. Destinasi yang dipilih adalah sebuah daerah bernama Dieng. Alam yang dingin nan cantik ini akan mengisi episode perjalanan saya dan teman-teman kali ini.
Koordinasi
dilakukan via grup whatsapp. Jarak, waktu, dan kesibukan masing-masing memaksa untuk
koordinasi via online. Teknologi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, bukan? Grup
whatsapp yang dinamai “Pendakian Prau & Wisata Dieng 5-7 Mei 2016” ini
beranggotakan 11 orang. Delapan diantaranya udah saling mengenal karena satu kampus
sekaligus satu komunitas pendakian, tiga lainnya teman-teman baru.
Mereka
adalah Nurul Rohimah, Muni Nurhasanah, Leni Lestari, Muhammad Irfan Fahmi,
Sopian Hadi, Bisma Darma Kurnia, dan Aldin Syarifudin. Pembaca setia blog saya
pasti gak asing lagi sama nama-nama yang disebutkan itu (pede banget kayak yang
iya aja punya pembaca setia haha). Tiga anggota baru lainnya adalah Rinrin Dewi Nurani yang dipanggil Teh Rinrin, Risdiani Setiawan yang biasa dipanggil Teh Dini, dan Witry Khartiwi yang kemudian dipanggil dengan sebutan Dede karena paling muda. Udah dibantu promote nih IG nya hihi.
Rabu malam
kita berkumpul di titik yang udah disepakati yaitu di Jalan Gegerkalong Girang.
Carrier warna-warni dengan ukuran beragam berjajar di pinggir jalan menghiasi
pelataran depan SD Isola. Dijemput mobil yang udah disewa sebelumnya, kami
meluncur menuju Cibiru untuk jemput Teh Dini, Teh Rinrin, Witri, dan Kang Aldin.
Keempat teman kita bergabung dijalan karena lokasi rumah yang cukup jauh. Dua
jam kemudian mendarat dengan selamat di halte Cibiru.
Perjalanan
menuju Wonosobo dimulai. Masih pada melek meski udah larut, masih terlihat
bahagia meski macet dibeberapa titik. Buat saya ini pengalaman baru karena
belum pernah melakukan perjalanan jauh ke arah selatan, mengingat setiap kali
mudik selalu ke arah barat.
Memasuki jam
00.00 dini hari, satu per satu mulai masuk ke alam mimpi masing-masing. Saya
gak tahu saat itu ada di daerah mana, yang jelas jalannya gelap,
berkelok-kelok, hanya ada pohon-pohon di kanan kirinya. Belum habis belokan ke
kanan, udah belok lagi ke kiri. Begitu seterusnya sampai saya gak sadar karena
akhirnya tertidur juga. Bangun-bangun di daerah Cilacap untuk melaksanakan
sholat subuh. Perjalanan dilanjutkan, ada yang tidur lagi, ada yang memilih
menikmati view selama perjalanan. Disini gak se-hectic Kota
Bandung, jalanan cukup sepi, gedung-gedung tinggi gak begitu banyak. Lihat
jalan yang lenggang begini, sekitar jam 10 pasti udah bisa sampai Dieng.
Satu hal
yang kita rasakan pagi itu: laper. Terus cari tempat makan sepanjang jalan tapi
gak ada yang sreg. Akhirnya mata kita tertuju pada gerobak-gerobak yang
berjajar rapi di alun-alun Wonosobo. Yeah, welcome Wonosobo! Perjalanan
cukup panjang yang membuat leher dan punggung ini panas dan pegel-pegel.
Mobil menepi
untuk parkir. Lidah ini udah gak sabar mencicipi kuliner khas Wonosobo.
Keliling-keliling lapangan yang cukup luas dan pilihan kita jatuh pada sate
jamur. Tak selamanya jamur itu di tumis, nyatanya kali ini di sate..
(backsound kompilasi Ini Talkshow). Sate jamur plus lontong ini harga satu
porsinya Rp. 10.000,- cukup hemat dan mengenyangkan. Ada satu hal yang menarik dari
sate jamur ini. Bukan satenya, bumbunya, apalagi rasanya. Tapi, penjualnya.
Waktu diajak ngobrol ternyata Si Bapak urban alias Urang Bandung. Euleuh
tebih-tebih icalan di Wonosobo atuh, Pak. Suka bahagia aja ketika
berkunjung ke suatu tempat lalu bertemu dengan orang yang satu daerah. Kemudian sedikit nyesel karena salah satu teman kita ada yang beli sate ayam dengan harga sama haha.
Puas
menikmati kuliner di alun-alun Wonosobo, perjalanan dilanjutkan menuju Dieng.
Yeah, tinggal beberapa menit lagi kita sampai di tempat tujuan. Gak sabar
menikmati keindahan Dieng yang cuma bisa liat di internet. Gak sabar menikmati view
Sindoro-Sumbing dari Gunung Prau. Tapi sebelum itu, destinasi pertama yang akan
kita kunjungi adalah sebuah tempat bernama Candi Arjuna.
Wussshhh! Udara Dieng
ini mirip Lembang, tapi lebih dingin. Gak hanya udaranya, kontur datarannya, pemandangannya,
suasananya, gak jauh beda sama Lembang. Yang membuat beda adalah Dieng punya
banyak gimik yang lebih alami. Telaga Warna, Telaga Menjer, Kawah Sikidang,
Ratapan Angin, Candi Arjuna, semuanya adalah alam asli Dieng, bukan buatan
seperti Floating Market, Farmhouse, dll. Kelebihan lain adalah jarak antara
tempat wisata yang satu dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh
dengan waktu 10-20 menit aja menggunakan kendaraan. Semuanya satu wilayah. Kalau gak lagi rame dan penuh begini, kayaknya seharian cukup mengitari tempat-tempat wisata di Dieng ini.
Mobil
wisatawan udah memenuhi lahan parkir Komplek Candi Arjuna. Meski di dalam udah
padet, kita tetep masuk dengan antusias. Karna jarang banget mau mendaki gunung
tapi wisata dulu. Oh ya, bicara candi pasti gak lepas dari yang namanya sejarah. Konon
Candi Arjuna ditemukan sekitar tahun 1814. Komplek candi Hindu ini ditemukan
oleh tentara Inggris yang sedang mengunjungi dataran tinggi Dieng. Saya belum
sempat cari tau lebih banyak tentang tempat ini. Temen-temen yang tau lebih
banyak boleh share tentang sejarah Candi Arjuna ini ya. Yang jelas selama
disana kita hanya sibuk ambil gambar dan mengabadikan moment. Gak kerasa
muter-muter Candi Arjuna sampai waktu sholat dzuhur.


Entah mencapai berapa derajat suhu saat itu, yang jelas akan buat kamu males bolak-balik ke toilet untuk bersentuhan dengan air. Freeze, banget! Setelah sholat dzuhur kita bersiap menuju Basecamp Kalilembu, salah satu jalur pendakian menuju Mt. Prau. Itu artinya sebentar lagi kita akan melakukan pendakian yang menjadi tujuan utama datang kesini. We’re coming Mt. Prau 2256 mdpl!
Ada banyak
jalan menuju Roma, begitu juga dengan Mt. Prau. Ada 4 jalur untuk menuju kesana
yaitu jalur Dieng, Dieng Pandawa, Patak Banteng, dan Kalilembu. Masing-masing
punya sensasi tersendiri. Katanya, jalur paling luar biasa adalah Patak Banteng.
Pendek tapi menawan. Saking menawannya, kita terpesona melihat kemiringan jalur
itu dari jarak jauh yang kayaknya gak bisa diselesaikan pakai rumus matematika.
Baru prolog. Tunggu kelanjutan
ceritanya, ya!
Kapan-kapan pengen ikut gabung juga dong :)
ReplyDeleteBoleh banget Fitri, ayo :)
Delete