![]() |
Pendakian dimulai |
“Jadi, ada 4
jalur buat naik ke atas itu. Dieng, dieng pandawa, kalilembu, dan patak
banteng.”
“Yang paling
jauh yang mana, Mbak?”
“Jalur dieng
dan kalilembu termasuk jauh, tapi lebih mudah."
“Yang suka lewat kalilembu banyak gak, Mbak?” Tanya kami lagi antusias.
“Gak terlalu
banyak sih, tapi ya ada aja setiap harinya yang lewat sini.”
Kira-kira
begitu percakapan antara saya, Teh Muni, dan Mbak yang ada di basecamp, saat baru
turun dari Mt. Prau sambil liatin si Mbak cuci piring di dapur. Liatin aja, gak
bantuin hehe.
Kalilembu
adalah jalur yang kita pilih saat itu. Bisa dibilang cukup sepi karena gak
terlalu sering berpapasan sama pendaki lain. Setelah makan siang dan packing
ulang, jam 15.30 kita langsung memulai pendakian.
![]() |
Pinjem fotonya @m_irfan_fahmi |
![]() |
Masih semangat |
Pemandangan
yang pertama kali kita temui adalah undukan perkebunan. Baru beberapa senti
melangkah udah ngos-ngosan. Mungkin efek gak pemanasan sebelum mendaki, efek
nge-down duluan ngeliat carrier, atau efek ngeliatin puncak yang masih
sangat jauh. Tapi, baru beberapa menit melangkah kita melihat sebuah plang
bertuliskan ‘POS 1’. Kabar bahagia banget gak sih pos satunya sedekat ini.
Masih gak percaya. Wajah kita berbinar dan makin semangat melangkah. Meski
secara logika tau banget kalau puncak tuh masih nan jauh di mato. Setidaknya
itu bisa jadi energi buat melanjutkan perjuangan.
Jalurnya
cukup manusiawi, bahkan banyak bonusnya. Bonus banyak jalan lurus, bonus teduh,
bonus gak banyak cabang. Belum lagi Allah mah maha baik, gak dikasih hujan
samasekali saat perjalanan naik.
Awalnya
formasi kita 4-3-4. Empat orang di depan, tiga orang ditengah, 4 orang di
belakang. Di paling depan ada duo wanita super yang jalannya cepet banget, Teh
Leni dan Teh Rinrin. Teh Muni yang lagi fit banget jadi ikut jalan paling
depan. Satu lagi Kang Irfan, yang berbaik hati mau jadi porter dadakan bawain
tenda. Ngeliat mereka tuh kayak gak ada beban bawa carrier yang besarnya
se-alaihim-gambreng.
Ditengah ada
saya, Uyuy, dan Kang Sopian. I am a slow walker, but I never walk back. Hahaha.
Sebetulnya Kang Sopian mah jalannya cepet. Karna bareng aku dan Uyuy jadi
ngikutin aja gitu tempo kecepatannya.
Paling
belakang ada Teh Dini, Witri, Kang Bisma dan Kang Aldin. Dua adam yang jagain
dua hawa dibelakang. Terutama Witri, anggota paling muda yang ikut pendakian
kali ini. Usianya masih 16 taun, baru pertama kali naik gunung dan langsung
naik Prau. Salut. Saya waktu masih 16 taun belum manjat gunung, tapi manjat
tangga besi lantai 3 mesjid sekolah.
Setelah satu
jam perjalanan, kita gak juga menemukan plang bertuliskan ‘POS 2’. Benar aja
kan, semua tak seindah seperti awalnya. Jarak antara POS 1 dengan POS 2 sangat
jauh.
“Ini siapa
sih yang iseng mindahin plang jaraknya PHP begini?”
Kita sampai
di POS 2 saat langit udah mulai gelap. Akhirnya nunggu semua berkumpul supaya
jalan bersamaan. Siap-siap amunisi headlamp dan senter. Perjalanan
kembali dilanjutkan dengan formasi sebelas, lengkap. Udara juga ikut dingin.
Dinginnya Prau lumayan juga, tapi karena kita sambil jalan jadi belum terlalu
terasa dinginnya. Jalur menuju POS 3 terus nanjak, tapi gak terlau curam. Ini
mah manusiawi nanjaknya, gak kayak tanjakan mamang.
Saya gak tau
tepatnya jam berapa, kita sampai di POS 3 antara jam 18.30-19.00. POS 3 ini
jalur pertemuan pendakian via Dieng dan Kalilembu. Udah ada beberapa rombongan
yang istirahat disana. Kita istirahat sebentar dan langsung melanjutkan
pendakian karena puncak top sebentar lagi, katanya. Dan bener aja yang ini mah
gak PHP. Jarak dari POS 3 ke puncak top memang gak terlalu jauh. Antara jam
19.00-19.30 kita sampai diketinggian 2565 mdpl! Alhamdulillah, we’re here
Mt. Prau.
Foto dulu,
tetep.
![]() |
Puncak top 2565 mdpl |
Udah sampai
puncak kita bingung mau camp dimana. Mau lanjutin ke bukit teletubies
lumayan jauh. Perlu effort lagi buat meraba-raba jalan dan mungkin naik
turun bukitnya. Akhirnya kita memutuskan untuk camp di puncak top karena
udah cukup kelelahan. Seperti biasa kita bagi-bagi tugas. Saya, Teh Muni, Teh
Rinrin, dan para jagoan yang cuma ber-empat pasang tenda. Sementara sisanya
siapin makan dan air panas. Kita berbincang banyak hal, saling mengenal lebih dekat satu sama lain. Ditemani hembusan angin Mt. Prau yang gak bisa ditolak kehadirannya. Menikmati sedingin apapun udaranya, sekencang apapun terpaan anginnya. Asal bersama-sama, rela kok. Cie jadi puitis begini. Oke jadi semakin malam semakin banyak pendaki yang baru
sampai. Keliatannya nya sih mereka juga bingung mau camp dimana. Setelah selesai masak, perut udah di isi makanan, dan mata mulai
ngantuk, kita langsung istirahat tidur ke tenda masing-masing.
Semakin
malam puncak makin mirip pasar. Meski mata udah merem, suara-suara diluar masih
sangat terdengar jelas. Banyak banget yang camp di puncak top, padahal
area camp luas banget, bro. Masih cukup untuk mendirikan ratusan
tenda di bukit teletubies yang luasnya gak habis-habis.
Saya rasa
saling menghargai satu sama lain gak hanya aturan bertetangga di rumah,
bertetangga di puncak dengan tenda yang nempel satu sama lain, rasa saling
menghargai juga perlu ditegakkan hehe. Tidur di tenda desak-desakan karena
sempit, kedinginan karena cuaca, atau tarik-tarikan selimut mah udah biasa.
Tapi saat waktu istirahat kamu terganggu oleh orang yang nyanyi-nyanyi, ngobrol
kenceng-kenceng ‘nengkene-negkono’ atau gedebrak-gedebruk gak jelas dini hari,
rasanya pingin lari dari kenyataan. Heu. Jadi, para mounteneer yang
budiman, jagalah perasaan tetanggamu selama berkemah. Lihat situasi dan kondisi
terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Kalau tetangganya memang lagi pada
nyanyi-nyanyi, ya silahkan melakukan hal yang sama. Tapi saat tetangga
kebanyakan sudah istirahat, janganlah membuat keributan sendiri hehe. Peace.
Paginya
begitu bangun dan keluar tenda, ini tempat udah ngalahin hotel pokoknya. Long
weekend begini ternyata banyak yang memilih tidur di gunung ketimbang di
penginapan berbintang. Iya lah, hotel cuma sampai bintang 9, kalau di gunung 1000
bintang. Setelah sholat subuh kita langsung menuju bukit teletubies sambil bawa
peralatan tempur yaitu: tongsis dan kamera.
Alhamdulillah
gak hujan, gak berkabut, gak ada yang sakit, dan gak nyangka tempatnya se-keren
ini. View Sindoro-Sumbing terlihat jelas. Gunung kembar yang berdiri
didepan sana adalah gambar yang sering kita temui di label air mineral bermerek
Aqua. Semakin mendekat, semakin gagah terlihatnya. Saya betah berlama-lama
disini, sambil memperhatikan manusia sebanyak ini berkumpul di puncak gunung.
Lalu saya bertanya-tenya sendiri. Apa yang membuat mereka ingin naik gunung?
Apa tujuan mereka datang kesini? Apa yang mereka cari? Dan apa-apa lainnya.
Seperti diawal saya katakan, everyone has a reason to do something, right? Tidak
peduli seberapa banyak alasan yang kita punya untuk sampai disini. Tapi ada satu
alasan yang paling mendasar dalam setiap pendakian yaitu: tanda syukur. Syukur
diberi sehat, diberi rezeki, diberi kesempatan ber-safar (Karena orang yang
sedang safar do’anya di ijabah, bukan?), dan lain sebagainya.
Puas
berjam-jam menikmati Mt. Prau, mengambil foto dari berbagai sudut dengan
berbagai gaya berbeda. Dari mulai selfie, foto loncat, sampai foto pencitraan. Ada
hikmahnya juga camp di puncak top, effort bawa-bawa carriernya
berkurang, gak perlu naik turun bukit teletubies sambil gendong-gendong
carrier.
![]() |
Best friends |
![]() |
View Sindoro-Sumbing |
![]() |
Pinjem fotonya @aabism |
Setelah itu
kita kembali ke puncak top untuk masak dan makan siang. Kepadatan penduduk
disini udah mulai berkurang. Beberapa pendaki mungkin pindah atau bahkan ada
yang udah pulang. Siang ini kita langsung turun karena rencananya nanti malam
kita mau camp di Sikunir. Rencana aja. Waktu beres-beres tenda kita
ketemu sama salah satu teman kampus yang lagi mendaki juga bareng rombongan
lain. Iya, ketemu Teh Erna disana. Jarang ketemu di kampus malah jauh-jauh
ketemu di Jawa Tengah ya hehe.
Matahari
mulai terik, kita langsung packing untuk siap-siap turun. Semangat
banget buat turun mengingat jalur yang kita lewati kemarin bisa dilewati dengan
baik. Sebelum meninggalkan keindahan Mt. Prau, kita foto berlatarkan awan dan
Dieng. Teman baru, pengalaman baru, dan buat seorang blogger pastinya postingan
baru haha. Baru kemarin diskusi di whatsapp tentang pendakian ini, sekarang
udah mau turun lagi. Baru sekitar dua puluh empat jam kenal Teh Dini dan Dede,
rasanya udah kenal lama banget.
![]() |
Full team sebelum turun |
![]() |
Perjalanan turun |
Saya gak
akan cerita banyak tentang bagaimana perjalanan turun. Semua lancar dan aman
terkendali. Meski memang sedikit licin dibeberapa tempat. Sempat ada beberapa
teman yang tisoledat dan kejedot juga. Mention jangan nih orang-orangnya?
Hehe, peace. Yang jelas, perjalanan turun memakan waktu satu jam setengah
melewati jalur yang sama.
Sampai di
basecamp kita mandi bergiliran berhubung kamar mandinya cuma satu, sesuai
dengan nomor urut yang sudah disepakati bersama. Iya, jadi waktu di puncak kita
rebutan nomor urut mandi haha. Gak ada rombongan pendaki lain yang stay
di basecamp saat kita sampai. Emang betul-betul sepi jalur Kalilembu ini.
Basecamp serasa milik pribadi. Pemilik rumahnya baik-baik banget, gak bisa di
deskripsikan dengan kata-kata pokoknya. Sementara yang satu mandi, yang satu
tidur, yang lainnya update status, ganti DP, edit gambar, dan sharing
foto. Jadi guys, sepertinya aktivitas baru yang masuk dalam daftar
kegiatan pendaki selain pasang tenda adalah pasang status haha.
Sampai nomor
urut ke-11 selesai mandi, kita memutuskan untuk pergi keluar cari makan.
Akhirnya gak jadi camp di Sikunir, kita memutuskan untuk tidur di
basecamp karena udah pada kelelahan, bahkan ada yang demam juga. Sekitar jam
17.00 kita menuju Dieng untuk cari kedai mie ongklok. Kalau ke Wonosobo gak
makan mie ongklok rasanya ada yang kurang. Jadi mie ongklok ini mirip lomie kalau
di Bandung. Bedanya, mie ongklok pakai tahu goreng dan sate. Kalau lomie pakai
toping-toping mie yamin.
![]() |
Makan mie ongklok dulu |
Suasana
Dieng malam hari tambah ramai. Banyak pendaki-pendaki yang baru sampai dan akan
melakukan pendakian via jalur Dieng. Lalu lintas juga cukup padet dan macet.
Beruntung banget ya masyarakat Dieng ini, punya alam yang bagus dan dikelola
dengan cukup baik. Bahkan jadi sumber perekonomian masyarakat juga.
Beres makan
malam kita kembali ke basecamp. Aku, Teh Muni, Teh Dini, dan keempat jagoan
langsung menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Disana ada beberapa ibu-ibu
yang udah sepuh. Salah satu dari ibu itu mengajak ngobrol aku dan Teh Dini
pakai Bahasa Jawa setelah sholat.
“Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz.”
Aku dan Teh
Dini saling menatap, mata kita bertemu. Eaaa. Kita jawab pakai Bahasa Indonesia
tapi si ibu gak paham.
“Teh Dini,
aku ora ngerti ibunya bicara apa.”
“Aku juga.”
Tapi
akhirnya Teh Dini mengajukan sebuah pertanyaan sama si ibu pakai Bahasa Jawa. Si
ibu baru bisa nyambung. Khawatir percakapan ini semakin panjang dan kita
bingung mesti jawab apa, akhirnya kita memutuskan untuk keluar dari masjid hehe.
Saat balik
ke basecamp, para bidadari udah tertidur pulas di dalam kamar yang hanya cukup
untuk empat orang. Akhirnya aku, Teh Muni, dan Teh Dini tidur di ruang tengah. Malam
itu sebelum tidur kita berkesempatan untuk ngobrol lebih banyak sama si pemilik
basecamp. Dua orang laki-laki yang saya lupa siapa namanya.
“Ibu, mau
pesen stmj ya 6 gelas.”
Sambil
nunggu stmj, kita masih betah nanggap dua Mas-mas yang lagi cerita pengalamannya.
“Stmj nya
gak ada, paling kalau mau dibutkan purwaceng aja ya.”
Tiba-tiba
kita mendengar satu kata yang asing banget di telinga kita.
“Apa itu Bu?”
“Purwaceng
itu tanaman dan bisa diseduh, rasanya seperti teh. Buat nambah stamina bla bla bla.”
Panjang lebar si ibu menjelaskan, ditimpali oleh si Mas yang membuat konotasi
purwaceng menjadi negatif.
Saya ketawa
ngakak denger si Mas nya cerita. Selain karena logatnya yang medok, gaya ceritanya
ekspresif banget, ditambah ketemu Kang Aldin yang saruana, tambah
ngaler-ngidul percakapan kita malam itu.
Selanjutnya
tentang sikunir, batu ratapan angin, perjalanan pulang, sampai drama antara
Siti dan Aldi akan saya lanjutkan di bagian ketiga. Tunggu kelanjutan
ceritanya, ya!
Gak sabar nunggu edisi 3 nya
ReplyDeleteternyata camping bisa ramai jg yah :D
ReplyDeleteWah Prau Dieng, seeuuruuuuu campnya. Lelahnya terbayar ketika melihat pemandangan yang super indah banget
ReplyDelete