Catatan Pendakian Mt. Prau Bagian II

Pendakian dimulai


“Jadi, ada 4 jalur buat naik ke atas itu. Dieng, dieng pandawa, kalilembu, dan patak banteng.”

“Yang paling jauh yang mana, Mbak?”

“Jalur dieng dan kalilembu termasuk jauh, tapi lebih mudah."

“Yang suka lewat kalilembu banyak gak, Mbak?” Tanya kami lagi antusias.

“Gak terlalu banyak sih, tapi ya ada aja setiap harinya yang lewat sini.”

Kira-kira begitu percakapan antara saya, Teh Muni, dan Mbak yang ada di basecamp, saat baru turun dari Mt. Prau sambil liatin si Mbak cuci piring di dapur. Liatin aja, gak bantuin hehe.

Kalilembu adalah jalur yang kita pilih saat itu. Bisa dibilang cukup sepi karena gak terlalu sering berpapasan sama pendaki lain. Setelah makan siang dan packing ulang, jam 15.30 kita langsung memulai pendakian.

Pinjem fotonya @m_irfan_fahmi
Masih semangat
Pemandangan yang pertama kali kita temui adalah undukan perkebunan. Baru beberapa senti melangkah udah ngos-ngosan. Mungkin efek gak pemanasan sebelum mendaki, efek nge-down duluan ngeliat carrier, atau efek ngeliatin puncak yang masih sangat jauh. Tapi, baru beberapa menit melangkah kita melihat sebuah plang bertuliskan ‘POS 1’. Kabar bahagia banget gak sih pos satunya sedekat ini. Masih gak percaya. Wajah kita berbinar dan makin semangat melangkah. Meski secara logika tau banget kalau puncak tuh masih nan jauh di mato. Setidaknya itu bisa jadi energi buat melanjutkan perjuangan.

Jalurnya cukup manusiawi, bahkan banyak bonusnya. Bonus banyak jalan lurus, bonus teduh, bonus gak banyak cabang. Belum lagi Allah mah maha baik, gak dikasih hujan samasekali saat perjalanan naik.

Awalnya formasi kita 4-3-4. Empat orang di depan, tiga orang ditengah, 4 orang di belakang. Di paling depan ada duo wanita super yang jalannya cepet banget, Teh Leni dan Teh Rinrin. Teh Muni yang lagi fit banget jadi ikut jalan paling depan. Satu lagi Kang Irfan, yang berbaik hati mau jadi porter dadakan bawain tenda. Ngeliat mereka tuh kayak gak ada beban bawa carrier yang besarnya se-alaihim-gambreng.

Ditengah ada saya, Uyuy, dan Kang Sopian. I am a slow walker, but I never walk back. Hahaha. Sebetulnya Kang Sopian mah jalannya cepet. Karna bareng aku dan Uyuy jadi ngikutin aja gitu tempo kecepatannya.

Paling belakang ada Teh Dini, Witri, Kang Bisma dan Kang Aldin. Dua adam yang jagain dua hawa dibelakang. Terutama Witri, anggota paling muda yang ikut pendakian kali ini. Usianya masih 16 taun, baru pertama kali naik gunung dan langsung naik Prau. Salut. Saya waktu masih 16 taun belum manjat gunung, tapi manjat tangga besi lantai 3 mesjid sekolah.

Setelah satu jam perjalanan, kita gak juga menemukan plang bertuliskan ‘POS 2’. Benar aja kan, semua tak seindah seperti awalnya. Jarak antara POS 1 dengan POS 2 sangat jauh.

“Ini siapa sih yang iseng mindahin plang jaraknya PHP begini?”

Kita sampai di POS 2 saat langit udah mulai gelap. Akhirnya nunggu semua berkumpul supaya jalan bersamaan. Siap-siap amunisi headlamp dan senter. Perjalanan kembali dilanjutkan dengan formasi sebelas, lengkap. Udara juga ikut dingin. Dinginnya Prau lumayan juga, tapi karena kita sambil jalan jadi belum terlalu terasa dinginnya. Jalur menuju POS 3 terus nanjak, tapi gak terlau curam. Ini mah manusiawi nanjaknya, gak kayak tanjakan mamang.

Saya gak tau tepatnya jam berapa, kita sampai di POS 3 antara jam 18.30-19.00. POS 3 ini jalur pertemuan pendakian via Dieng dan Kalilembu. Udah ada beberapa rombongan yang istirahat disana. Kita istirahat sebentar dan langsung melanjutkan pendakian karena puncak top sebentar lagi, katanya. Dan bener aja yang ini mah gak PHP. Jarak dari POS 3 ke puncak top memang gak terlalu jauh. Antara jam 19.00-19.30 kita sampai diketinggian 2565 mdpl! Alhamdulillah, we’re here Mt. Prau.

Foto dulu, tetep. 

Puncak top 2565 mdpl
Udah sampai puncak kita bingung mau camp dimana. Mau lanjutin ke bukit teletubies lumayan jauh. Perlu effort lagi buat meraba-raba jalan dan mungkin naik turun bukitnya. Akhirnya kita memutuskan untuk camp di puncak top karena udah cukup kelelahan. Seperti biasa kita bagi-bagi tugas. Saya, Teh Muni, Teh Rinrin, dan para jagoan yang cuma ber-empat pasang tenda. Sementara sisanya siapin makan dan air panas. Kita berbincang banyak hal, saling mengenal lebih dekat satu sama lain. Ditemani hembusan angin Mt. Prau yang gak bisa ditolak kehadirannya. Menikmati sedingin apapun udaranya, sekencang apapun terpaan anginnya. Asal bersama-sama, rela kok. Cie jadi puitis begini. Oke jadi semakin malam semakin banyak pendaki yang baru sampai. Keliatannya nya sih mereka juga bingung mau camp dimana. Setelah selesai masak, perut udah di isi makanan, dan mata mulai ngantuk, kita langsung istirahat tidur ke tenda masing-masing.

Semakin malam puncak makin mirip pasar. Meski mata udah merem, suara-suara diluar masih sangat terdengar jelas. Banyak banget yang camp di puncak top, padahal area camp luas banget, bro. Masih cukup untuk mendirikan ratusan tenda di bukit teletubies yang luasnya gak habis-habis.

Saya rasa saling menghargai satu sama lain gak hanya aturan bertetangga di rumah, bertetangga di puncak dengan tenda yang nempel satu sama lain, rasa saling menghargai juga perlu ditegakkan hehe. Tidur di tenda desak-desakan karena sempit, kedinginan karena cuaca, atau tarik-tarikan selimut mah udah biasa. Tapi saat waktu istirahat kamu terganggu oleh orang yang nyanyi-nyanyi, ngobrol kenceng-kenceng ‘nengkene-negkono’ atau gedebrak-gedebruk gak jelas dini hari, rasanya pingin lari dari kenyataan. Heu. Jadi, para mounteneer yang budiman, jagalah perasaan tetanggamu selama berkemah. Lihat situasi dan kondisi terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Kalau tetangganya memang lagi pada nyanyi-nyanyi, ya silahkan melakukan hal yang sama. Tapi saat tetangga kebanyakan sudah istirahat, janganlah membuat keributan sendiri hehe. Peace.

Paginya begitu bangun dan keluar tenda, ini tempat udah ngalahin hotel pokoknya. Long weekend begini ternyata banyak yang memilih tidur di gunung ketimbang di penginapan berbintang. Iya lah, hotel cuma sampai bintang 9, kalau di gunung 1000 bintang. Setelah sholat subuh kita langsung menuju bukit teletubies sambil bawa peralatan tempur yaitu: tongsis dan kamera.

Alhamdulillah gak hujan, gak berkabut, gak ada yang sakit, dan gak nyangka tempatnya se-keren ini. View Sindoro-Sumbing terlihat jelas. Gunung kembar yang berdiri didepan sana adalah gambar yang sering kita temui di label air mineral bermerek Aqua. Semakin mendekat, semakin gagah terlihatnya. Saya betah berlama-lama disini, sambil memperhatikan manusia sebanyak ini berkumpul di puncak gunung. Lalu saya bertanya-tenya sendiri. Apa yang membuat mereka ingin naik gunung? Apa tujuan mereka datang kesini? Apa yang mereka cari? Dan apa-apa lainnya. Seperti diawal saya katakan, everyone has a reason to do something, right? Tidak peduli seberapa banyak alasan yang kita punya untuk sampai disini. Tapi ada satu alasan yang paling mendasar dalam setiap pendakian yaitu: tanda syukur. Syukur diberi sehat, diberi rezeki, diberi kesempatan ber-safar (Karena orang yang sedang safar do’anya di ijabah, bukan?), dan lain sebagainya.

Puas berjam-jam menikmati Mt. Prau, mengambil foto dari berbagai sudut dengan berbagai gaya berbeda. Dari mulai selfie, foto loncat, sampai foto pencitraan. Ada hikmahnya juga camp di puncak top, effort bawa-bawa carriernya berkurang, gak perlu naik turun bukit teletubies sambil gendong-gendong carrier.
Best friends
View Sindoro-Sumbing
Pinjem fotonya @aabism
Setelah itu kita kembali ke puncak top untuk masak dan makan siang. Kepadatan penduduk disini udah mulai berkurang. Beberapa pendaki mungkin pindah atau bahkan ada yang udah pulang. Siang ini kita langsung turun karena rencananya nanti malam kita mau camp di Sikunir. Rencana aja. Waktu beres-beres tenda kita ketemu sama salah satu teman kampus yang lagi mendaki juga bareng rombongan lain. Iya, ketemu Teh Erna disana. Jarang ketemu di kampus malah jauh-jauh ketemu di Jawa Tengah ya hehe.

Matahari mulai terik, kita langsung packing untuk siap-siap turun. Semangat banget buat turun mengingat jalur yang kita lewati kemarin bisa dilewati dengan baik. Sebelum meninggalkan keindahan Mt. Prau, kita foto berlatarkan awan dan Dieng. Teman baru, pengalaman baru, dan buat seorang blogger pastinya postingan baru haha. Baru kemarin diskusi di whatsapp tentang pendakian ini, sekarang udah mau turun lagi. Baru sekitar dua puluh empat jam kenal Teh Dini dan Dede, rasanya udah kenal lama banget.

Full team sebelum turun
Perjalanan turun
Saya gak akan cerita banyak tentang bagaimana perjalanan turun. Semua lancar dan aman terkendali. Meski memang sedikit licin dibeberapa tempat. Sempat ada beberapa teman yang tisoledat dan kejedot juga. Mention jangan nih orang-orangnya? Hehe, peace. Yang jelas, perjalanan turun memakan waktu satu jam setengah melewati jalur yang sama.

Sampai di basecamp kita mandi bergiliran berhubung kamar mandinya cuma satu, sesuai dengan nomor urut yang sudah disepakati bersama. Iya, jadi waktu di puncak kita rebutan nomor urut mandi haha. Gak ada rombongan pendaki lain yang stay di basecamp saat kita sampai. Emang betul-betul sepi jalur Kalilembu ini. Basecamp serasa milik pribadi. Pemilik rumahnya baik-baik banget, gak bisa di deskripsikan dengan kata-kata pokoknya. Sementara yang satu mandi, yang satu tidur, yang lainnya update status, ganti DP, edit gambar, dan sharing foto. Jadi guys, sepertinya aktivitas baru yang masuk dalam daftar kegiatan pendaki selain pasang tenda adalah pasang status haha.

Sampai nomor urut ke-11 selesai mandi, kita memutuskan untuk pergi keluar cari makan. Akhirnya gak jadi camp di Sikunir, kita memutuskan untuk tidur di basecamp karena udah pada kelelahan, bahkan ada yang demam juga. Sekitar jam 17.00 kita menuju Dieng untuk cari kedai mie ongklok. Kalau ke Wonosobo gak makan mie ongklok rasanya ada yang kurang. Jadi mie ongklok ini mirip lomie kalau di Bandung. Bedanya, mie ongklok pakai tahu goreng dan sate. Kalau lomie pakai toping-toping mie yamin.

Makan mie ongklok dulu
Suasana Dieng malam hari tambah ramai. Banyak pendaki-pendaki yang baru sampai dan akan melakukan pendakian via jalur Dieng. Lalu lintas juga cukup padet dan macet. Beruntung banget ya masyarakat Dieng ini, punya alam yang bagus dan dikelola dengan cukup baik. Bahkan jadi sumber perekonomian masyarakat juga.

Beres makan malam kita kembali ke basecamp. Aku, Teh Muni, Teh Dini, dan keempat jagoan langsung menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Disana ada beberapa ibu-ibu yang udah sepuh. Salah satu dari ibu itu mengajak ngobrol aku dan Teh Dini pakai Bahasa Jawa setelah sholat.

“Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz.”

Aku dan Teh Dini saling menatap, mata kita bertemu. Eaaa. Kita jawab pakai Bahasa Indonesia tapi si ibu gak paham.

“Teh Dini, aku ora ngerti ibunya bicara apa.”

“Aku juga.”

Tapi akhirnya Teh Dini mengajukan sebuah pertanyaan sama si ibu pakai Bahasa Jawa. Si ibu baru bisa nyambung. Khawatir percakapan ini semakin panjang dan kita bingung mesti jawab apa, akhirnya kita memutuskan untuk keluar dari masjid hehe.

Saat balik ke basecamp, para bidadari udah tertidur pulas di dalam kamar yang hanya cukup untuk empat orang. Akhirnya aku, Teh Muni, dan Teh Dini tidur di ruang tengah. Malam itu sebelum tidur kita berkesempatan untuk ngobrol lebih banyak sama si pemilik basecamp. Dua orang laki-laki yang saya lupa siapa namanya.

“Ibu, mau pesen stmj ya 6 gelas.”

Sambil nunggu stmj, kita masih betah nanggap dua Mas-mas yang lagi cerita pengalamannya.

“Stmj nya gak ada, paling kalau mau dibutkan purwaceng aja ya.”

Tiba-tiba kita mendengar satu kata yang asing banget di telinga kita.

“Apa itu Bu?”

“Purwaceng itu tanaman dan bisa diseduh, rasanya seperti teh. Buat nambah stamina bla bla bla.” Panjang lebar si ibu menjelaskan, ditimpali oleh si Mas yang membuat konotasi purwaceng menjadi negatif.

Saya ketawa ngakak denger si Mas nya cerita. Selain karena logatnya yang medok, gaya ceritanya ekspresif banget, ditambah ketemu Kang Aldin yang saruana, tambah ngaler-ngidul percakapan kita malam itu.

Selanjutnya tentang sikunir, batu ratapan angin, perjalanan pulang, sampai drama antara Siti dan Aldi akan saya lanjutkan di bagian ketiga. Tunggu kelanjutan ceritanya, ya!

3 comments:

  1. Wah Prau Dieng, seeuuruuuuu campnya. Lelahnya terbayar ketika melihat pemandangan yang super indah banget

    ReplyDelete