![]() |
Wajahnya masih ceria |
Pendakian kali ini berjumlah 27
orang dengan komposisi mayoritas perempuan. Sebelum melakukan pendakian, kami
melaksanakan sholat gerhana di Mesjid At-Taqwa KPAD. Tepat tanggal 9 Maret 2016
lalu terjadi gerhana matahari total yang melintasi 11 Provinsi di Indonesia.
Fenomena alam ini hanya bisa disaksikan puluhan tahun sekali di tempat yang
sama, di Indonesia sendiri gerhana matahari total pernah terjadi 21 tahun
silam. Jadi gak heran kalau gerhana kali ini menjadi begitu istimewa bagi
masyarakat Indonesia. Sebagai umat muslim, udah sepantasnya gerhana matahari
total ini dijadikan moment yang sangat berharga untuk banyak beribadah dan
berdzikir kepada Allah swt.
Usai sholat gerhana, kami
menuju Lembang menggunakan sepeda motor. Tiga puluh menit kemudian tiba di
gerbang Hutan Wisata Jayagiri. Seperti biasa sebelum melakukan pendakian kami
berdo’a dan membagi peran. Peran antagonis dan protagonis. Eh bukan, maksudnya
ada yang menjadi tim penunjuk jalan dan tim penyisir yang tugasnya memastikan
semua anggota gak tertinggal dibelakang.
Pendakian dimulai pukul 09.00
saat matahari mulai terik-teriknya. Beruntung jalur Jayagiri ini cukup
bersahabat dan banyak pohon-pohon tinggi, jadi panasnya gak terlalu meresap ke
ubun-ubun. Jalur ini cocok banget buat jalan-jalan ceria sama adik, kakak, ibu,
bapak, suami, istri, dan sama kamu. Iya kamu. Banyak nanjaknya sih, ya namanya
juga naik gunung pasti nanjak. Tapi nanjaknya manusiawi, adek-adek PAUD juga sanggup
melewati ini mah.
Titik istirahat pertama adalah
di sebuah warung yang pas kesana lagi tutup. Padahal kita, eh aku, udah
merencanakan mau beli bala-bala yang baru diangkat dari penggorengan, hemmm nikmatnya.
Akhirnya cuma ngobrol ngaler ngidul sambil ngabisin makanan punya orang. Terus
ada satu keluraga yang baru turun melintas dihadapan kita, sepasang suami istri
dan dua anak perempuannya yang lucu-lucu. Guys, mereka aja kuat, masa kita yang
udah segede gini ngos-ngosan maksimal?
![]() |
Jalur pendakian jayagiri |
![]() |
Warung yang tutup |
Sambil nunggu teman-teman yang
masih tertinggal beberapa meter, bulir-bulir air hujan mulai terjatuh membasahi
bumi. Angin bertiup merasuk ke relung jiwa yang mulai hampa. Uhuk. Dan, deras.
Bruuussshh! Kayak air yang ditumpahin sekaligus dari ember. Kita semua menepi
kedalam warung dan buru-buru pakai jas hujan. Bakal licin ini mah, bakal dingin
ini mah, bakal pulang malem ini mah. Lanjut enggak, lanjut enggak? Saat itu
kita mengkhawatirkan seseorang yang baru aja sembuh dari sakit. Tapi, Teteh
kita ini punya semangat yang ruarrr biasa, Teteh yang baru melakukan perjalanan
lagi dari cuti pendakian yang cukup panjang. Teh Anney namanya. Loveyou, Teh!
Perjalanan dilanjutkan,
diiringi tetesan air hujan yang masih setia membasahi bumi. Gak kayak kamu yang
gak setia, eh. Sepatu dan rok basah maksimal, untungnya baju gak ikut-ikutan
basah karena terlindungi jas hujan. Jalanan licin, banyak kubangan, seru
banget. Udah lama gak basah-basahan kayak begini. Terakhir naik gunung cuacanya
kering dan hanya menyisakan debu.
"Kenapa harus lewat Jayagiri sih ke Gunung
Tangkuban Parahu nya? Gak lewat jalan raya yang jelas-jelas lebih enak dan
nyaman. Kamu mah nyusahin diri sendiri aja.” Begitu respon teman kantorku,
waktu aku cerita antusias sama dia.
“Judulnya juga mendaki gunung,
gak rame atuh kalau lewat tempat wisata mah. Piknik aja sekalian.” Percakapan
pun selesai.
Kembali ke jalur pendakian
Tangkuban Parahu yang tiada berujung ini. Puas melewati kubangan-kubangan, kita
mulai masuk hutan rimba dimana masih banyak akar-akar yang bisa dipakai
menggelayut ala-ala tarzan. Pohonnya rapat dan tinggi-tinggi. Jalurnya nanjak
tanpa bonus. Kata Teh Anney mirip jalur Cikuray. Entah, belum tau juga jalur
Cikuray kayak apa soalnya belum pernah kesana.
Siap-siap atur nafas. Jalur ini
dijamin bikin lemes lutut dan sakit kaki. Usahakan makan madu atau ngemil yang
manis-manis untuk menjaga stamina kamu. Jangan banyak hereuy bisi tikosewad,
banyak akar dan ranting yang malang melintang. Kecuali kalau kamu udah
professional dan hafal diluar kepala sama jalur ini.
“Ya Allah, cape.”
“HHN, Teh.”
“Apaan tuh?”
“Hadapi Hayati Nikmati.”
Begini kalau jalan sama santri
SSG, ada bisikan-bisikan positif dari belakang.
“Sesungguhnya masih lebih licin
jembatan sirotol mustaqim.”
Hashtag, kata Dindin.
Udah lewat dzuhur tapi belum
sampai juga. Patokannya adalah plang yang tertera angka dan tulisan diatasnya.
Jadi sepanjang perjalanan kamu akan menemukan plang kira-kira ukuran A6 yang
menancap diatas tanah. Ada angka dan nama-nama flora dan fauna. Kalau udah
melewati angka 12, tandanya sebentar lagi sampai. Udah kayak petualangan
memecahkan misi rahasia gitu pokoknya. Ah, lebay.
Setelah menempuh perjalanan
kurang lebih lima jam, kita mulai mencium bau-bau belerang. Tandanya sebentar
lagi sampai puncak, kan? Berharap ada yang bilang iya. Tapi sayangnya seseorang
berbicara dari arah depan, “Masih lama Teh, ini masih di angka 8. Puncaknya
setelah kita lewatin angka 14.” Gitu kata Ami, satu-satunya perempuan yang udah
pernah kesini sebelumnya. Baiklah, yuk lanjut.
Angka demi angka berhasil dilewati
dengan perjuangan antara hidup dan mati. Ah, lebay. Kita sampai juga di tempat
penangkal petir, space yang cukup luas untuk makan siang dan sholat.
Disini kamu bisa selonjoran bahkan tidur-tiduran. Gak ada lagi tanjakan yang bikin
lutut kehilangan engselnya. Saatnya bongkar perbekalan dan makan siang. Sementara
sebagian yang lain sholat, sebagian lagi makan siang, sebagian lagi selfie.
Tetep.
Menjelang ashar, kita
melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tangkuban Parahu. Jangan panik,
jalurnya lurus mendatar. Cukup banyak kubangan air dan bebatuan. Setelah
menempuh lima belas sampai dua puluh menit perjalanan, sampai juga di puncak
Gunung Tangkuban Parahu.
Tapi, semua serba putih.
Kabut.
Sejauh mata memandang hanya
kabut tebal yang menutupi keindahan kawah Gunung Tangkuban Parahu. Kecewa,
engga juga. Sedih, bisa jadi. Tapi kita harus selalu ingat, tujuan mendaki
bukanlah sampai puncak. Proses pendakian itu sendiri yang menjadi tujuannya,
bagaimana kita bisa belajar dan meng-upgrade diri dari setiap langkah
pendakian. Puncak hanya soal bonus. Tuhan memberikan kita akal, hati, dan
anggota tubuh yang sempurna untuk mensyukuri setiap kejadian dalam hidup.
Setengah jam di puncak.
Menikmati keindahan kawah yang samar-samar tertutup kabut.
Alhamdulillah.
Gak kerasa jam udah menunjukan pukul
empat sore. Kita harus buru-buru keluar hutan sebelum matahari tenggelam.
Melewati jalur yang berbeda sambil kepeleset berkali-kali. Licin banget
deh, sumpah. Pinginnya sih sosorodatan kayak di Guntur, tapi ini gak
memungkinkan. Medannya terlalu bahaya kalau harus melakukan itu. Akhirnya turun
pelan-pelan sesekali pegangan sama Teh Lia padahal postur tubuhku lebih besar loh, kebalik ya. Aku dan Teh Lia cekikikan liatin Ridwan yang kepeleset didepan. Beberapa masa
kemudian aku pun kepeleset tanpa daya. Impas.
Matahari mulai tenggelam dan
kita masih ditengah hutan. Banyak yang gak bawa senter karena kita gak
memprediksikan sampai larut begini. Perjalanan dilanjutkan dengan drama antara
Aldin dan Irfan yang menemukan dua jalur berbeda. Yang satu feelingnya ke kanan,
yang satu feelingnya ke kiri. Ketegangan ditambah ketika Sopian bilang, “Jalur
yang ini ada tanda jejaknya, tapi kayak ada jurang gitu.”
Apah! Jurang? Teh Anney mode
on.
Sebetulnya kalau siang-siang
jalurnya biasa aja, tapi karena ini udah malem jalur-jalur yang ada jadi
terlihat menyeramkan. Ditambah hujan dan kepanikan yang memenuhi isi pikiran kita
semua. Setelah melalui perdebatan panjang hakim memutuskan melewati jalur yang
mirip jurang-jurang itu. Ah, lebay lagi.
Saling menjaga satu sama lain.
Disini aku merasakan nikmatnya perjalanan bersama kalian. Meski sudah
berkali-kali, aku gak pernah bosan. Meski sakit kaki berkali-kali, aku gak
pernah kapok. Meski kepeleset berkali-kali, aku gak pernah nyerah. Meski pegel
pundak berkali-kali, gak apa-apa kok, kan ada hot in cream. Lah?! Endingnya gak banget ya.
Intinya aku selalu mendapatkan “sesuatu”
dari setiap perjalanan yang kita lakukan. Entah itu semangat baru, entah itu
kekuatan baru, entah itu pelajaran hidup, atau bahkan teman baru.
Pendakian Tangkuban Parahu via
Jayagiri ini diakhiri pukul 20.30 malam. Mamang-mamang yang jaga parkiran
terlihat kebingungan mendapati rombongan sebanyak ini baru turun larut malam.
Aku gak peduli sama wajah kebingungan mamang parkir itu, yang penting kita
semua selamat sampai kerumah masing-masing.
Sekian.
Where
Hutan Wisata Jayagiri, Lembang
Gunung Tangkuban Perahu, Subang, Jawa Barat
Admission Fee
Tiket masuk Hutan Wisata Jayagiri Rp. 5.000,- per Orang
Parkir motor Rp. 7.000,- per Motor
wah seru. say amau coba ah kapan2. makasih infonya teh :D
ReplyDeletekereeennn ceritanyaaah,, kapan aku bisa mulai lag ng-blog yaah ? hahaha.. terinspirasi ui kakak. semangat ah
ReplyDeleteSiap siap trip gunung prau teh tia..
ReplyDeleteInsyaa allaah banyak ceritanya😄😄
Subhaanallah seruu.. Kapan bisa ikut Trip ma kalian? Jadi malu�� ga pernah bisa ikut serta.. Suatu saat insyaAllah pasti bisa..
ReplyDelete