
Bukan mencekam, hanya suasana hening dan isakan tangis
yang menyelimuti tempat ini. Aku hanya bisa berdo’a berharap itu semua tidak
terjadi pada orang yang kini tengah berbaring disebelahku. Tubuhnya seolah berbicara kesakitan, namun mata
indahnya masih terpejam. Kutatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, fisiknya
terlihat sehat bahkan sangat sehat. Ku buka tirai berwarna coklat muda di
sebelahku. Cuaca di luar kurang bersahabat. Awan yang menangisi bumi dengan
langit yang pucat pasi menyelimutinya.
Mataku tertuju lagi pada sekerumunan
orang yang ada dihadapanku. Ruangan ini seakan menjadi saksi kesedihan mereka.
Semua peralatan medis dilepas dari tubuh sang pasien. Suara tangis yang makin
keras, bahkan ada yang tak sadarkan diri. Seorang perawat menutupkan selimut ke
sekujur tubuh sang pasien. Ya, pasien itu telah meninggalkan dunia yang fana
ini untuk selama-lamanya. Tanpa sadar air mataku telah menggenang, hatiku seakan
merasakan kesedihan mereka. Walaupun sang pasien bukanlah sanak keluargaku. Aku
hanya teringat lagi pada orang yang berbaring disebelahku. Pikiranku sudah
kacau entah kemana, aku jadi semakin mengkhawatirkan keadaannya.
Detik demi detik berjalan sangat
menegangkan di ruangan ini. Hampir satu jam suasana belum juga berubah. Berselang
menit setelah itu, sang pasien di pindahkan ke sebuah tempat tidur dan dibawa
keluar ruangan. Tak ada lagi sanak keluarga pasien yang tersisa di ruangan ini.
Sekarang hanya ada aku dan adikku. Sudah lima hari Dila terbaring di kasur
rumah sakit. Usianya bukanlah anak kecil lagi, tapi disaat seperti ini aku
selalu menganggap Dila seperti adik kecilku, anak kecilnya ayah dan ibu.
Ku baca huruf demi huruf, kata demi
kata ayat-ayat cintaNya. Suasana tegang tadi kini mulai mencair. Dila terbangun
dari tidurnya, aku spontan membantu Dila untuk duduk. Dila tidak mau karena
sakit lantas meninggalkan kewajibannya begitu saja. Aku membantunya ke kamar
mandi untuk mengambil air wudhu, sebentar lagi masuk waktu ashar. Aku masih
punya wudhu, aku langsung menggelarkan sejadah di samping tempat tidur Dila.
Dila sholat di atas tempat tidurnya.
Angin yang meniup tirai menemani
kami sholat ashar saat ini. Bermesraan dengan Rabb Pencipta Alam Semesta, itu kata-kata
yang pernah ibu katakan kepada kami. Saat sholat kita berhadapan langsung
dengan Dzat pemilik tubuh ini, berinteraksi langsung lewat bacaan-bacaan sholat
yang dirangkai dengan indahnya. Lewat gerakan-gerakan sholat yang pada fitrahnya
membuat tubuh ini sehat. Ucapan salam mengakhiri sholat kami. Beribu ampunan
dan harapan ku panjatkan dalam setiap do’aku. Begitupun dengan Dila, matanya
terpejam, kepalanya tertunduk ke bawah. Berharap semua ampunan dan harapan
dikabulkan oleh-Nya.
Tak terasa, bulan penuh ampunan,
bulan dimana nafas menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, hari-harinya adalah
hari yang utama, detik-detiknya adalah detik yang utama, bulan diturunkannya
Al-Qur’an petunjuk hidup manusia, bulan yang salah satu malamnya terdapat malam
yang lebih baik dari seribu bulan, bulan penuh berkah, bulan terbaik diantara
bulan-bulan lainnya, bulan dimana pintu syurga dibuka dan pintu neraka ditutup
rapat, bulan saat syetan dibelenggu. Ramadhan. Ya, genap satu bulan lagi bertemu dengan Ramadhan. Wa balighna ramadhan, wa
balighna ramadhan, wa balighna ramadhan. Itu do’a yang selalu ku pinta setiap
malam, aku ingin sampai pada Ramadhan-Mu.
****
Hari
ini Dila sudah boleh pulang dari rumah sakit, setelah satu minggu lebih Dila
terbaring karena radang hatinya yang kambuh lagi. “Kamarku, aku rindu sekali”,
teriak Dila sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kamar ini memang
tempat yang paling nyaman untukku dan juga Dila. Rumah kami memang sederhana.
Tidak ada banyak ruangan, tetapi cukup untuk menampung aku, Dila, ayah, ibu,
dan Haikal adik laki-laki kecilku yang bungsu. Dila mengambil dua lembar kertas
dan memberikan satu lembarnya kepadaku. “Ayo Kak Asma, tulis terget Ramadhannya
disini, mau ku tempel di dinding”, pintanya dengan semangat. Ini adalah hal
yang selalu aku dan Dila lakukan setiap menjelang Ramadahan, seperti sudah
menjadi tradisi. Biasanya aku yang mengajak Dila, tapi kali ini Dila yang
mengajakku. Aku senang sekali. Adik kecilku kini sudah menjadi dewasa, menjadi
remaja kelas tiga SMA yang sangat cinta pada agama-Nya, muslimah yang cinta
akan Rabb dan Rasul-Nya. Kadang aku malu pada Dila, semangatku tak sebesar
dirinya. Ibadahku tak semaksimal dirinya. Aku bersyukur memiliki adik yang
selalu mengingatkanku di jalan-Nya, walaupun usia kami berbeda tujuh tahun,
cukup jauh.
“Ga
sabar pingin cepet-cepet ke sekolah. Agenda Ramadhan udah menanti. Acara bakti
sosial, pesantren kilat dan acara-acara lainnya”, dengan semangat Dila
mengungkapkanya di depan aku, ibu dan ayah.
“Ayah
sama ibu ga ngizinin kamu cape-cape jadi panitia dulu ya”, ayah membalas yang
tentunya bukan jawaban yang diharpakan Dila.
“Ayah
sama ibu ga asyik nih. Sebentar lagi Dila lulus dan bukan pengurus lagi. Lagian
ini kan dalam rangka dakwah juga. Buat dakwah kok dilarang sih. Dila udah sehat
kok yah, bu”, pinta Dila merayu.
Akhirnya
ayah dan ibu luluh dengan rayuan Dila, tentunya dengan nasihat-nasihat panjang
yang hampir Dila dengar setiap harinya. Terutama tentang kesehatannya, Dila
selalu bandel untuk minum obat dan menjaga kesehatannya sendiri.
Itulah
Dila sedikit keras kepala. Tapi menurutku itu sangat wajar. Aku juga pernah merasakannya
saat dulu aku masih SMA. Semangatku untuk berdakwah di sekolah berada di
puncaknya. Sampai saat ini pun seperti itu. Semangat dakwahku juga tidak akan
pernah redup sampai ruh terpisah dari jasadku.
***
Mesjid
sangat penuh dengan orang-orang yang merindukan Ramadhan. Karna ini hari
pertama tarawih pasti sangat penuh. Sejadah sampai tergelar di teras-teras
mesjid. Awalnya saja seperti ini, satu minggu terakhir Ramadhan pasti hanya
beberapa shaf saja. Untungnya aku, Dila, dan ibu kebagian di dalam mesjid
karena kami datang lebih awal. Suasana seperti ini yang sangat aku rindukan.
Tarawih, sahur, buka puasa, tadarus, dan kegiatan lainnya selama Ramadhan.
Dua
minggu sudah melalui Ramadhan, rasanya tak ingin meninggalkan bulan ini. Kalau
Ramadhan seperti ini anak-anak ayah dan ibu jarang sekali ada di rumah,
khususnya aku dan Dila. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Menjadi
panitia kegiatan ini dan itu, mengisi sebuah acara, buka puasa bersama,
menghadiri kajian-kajian, atau sekedar berdiam di mesjid untuk meningkatkan
ibadah.
Aku
perhatikan Dila sibuk sekali dengan laptop, buku, Al-Qur’an, dan kertas-kertas
yang berserakan begitu saja di atas tempat tidur. Sesekali dia buka Al-Qur’an,
kemudian matanya berpindah ke buku, membolak-balikkan kertas-kertas, dan
mengetik di laptop. Aku memang sangat dekat dengan Dila. Apapun yang dia alami
pasti diceritakan kepadaku. Rupanya Dila sedang sibuk untuk acara besok, dia
ditunjuk menjadi pemateri di acara kajian muslimah disekolahnya. Ya, hal itu
juga selalu kulakukan saat aku menjadi seorang pembicara di acara ta’lim atau
seminar. Supaya apa yang kita sampaikan tidak hanya sekedar bicara, tetapi ilmu
dan maksudnya dapat diterima dengan baik oleh peserta. Menyampaikan ilmu yang
benar dan sesuai ajaran agama. Sesekali aku membantu Dila menyiapkan materi dan
berdiskusi bagaimana menjadi seorang pembicara yang baik.
“Alhamdulillah
selesai juga, semoga besok Dila ga gugup ya Kak. Nanti Dila bakal jadi
pembicara yang lebih hebat dari Kak Asma. Hehehe”, sambil membereskan laptop,
buku, dan kertas-kertas yang berserakan.
“Aamiin”,
balasku sambil tersenyum.
Sudah
pukul setengah 10 malam. Dila memaksaku untuk muroja’ah hafalan Al-Qur’annya.
Biasanya kegiatan rutin ini dilakukan usai sholat subuh. Dila menyetorkan
hafalan Al-Qur’annya kepadaku, begitupun sebaliknya.
“Innallaaha
‘aliimun khabiir”, ayat terakhir di surat Luqman ini mengakhiri hafalan Dila.
Dila sangat ingin sekali menyusul hafalanku, terkadang dia suka marah-marah
padaku karna belum bisa menyusul juga. Tapi, aku bangga sekali pada adikku ini.
Saat aku kelas tiga SMA hafalanku belum sebanyak ini. Sekarang giliranku untuk
menyetorkan hafalanku. Bismillah.
Hari
ini Dila susah sekali dibangunkan sahur. Sudah aku panggil berkali-kali tidak
bangun juga. “Dila... Dila...”, kesekian kalinya aku membangunkan Dila sambil
menggerakkan tubuhnya. Pikiranku mulai melayang entah kemana. Apa yang terjadi
pada Dila? Ya Allah kenapa adikku ini? Aku langsung memanggil ibu dan ayah.
Sekarang ibu yang membangunkan, berharap Dila bangun kali ini. Tapi entahlah
tubuhnya tak mau bergerak juga. Aku lihat raut kepanikan di wajah ibu dan ayah.
Ayah langsung membawa Dila ke dalam mobil dan kami semua ikut ke rumah sakit. Makanan
sahur kami biarkan tertata rapi begitu saja di atas meja makan. Sepanjang jalan
air mataku tak hentinya mengalir, begitupun dengan ibu. Aku tau, ayah menyetir
mobil dengan hati yang panik. Sedangkan Haikal hanya kebingungan melihat kami
semua. Dila langsung dibawa menuju UGD. Kami semua menunggu diluar. Adzan subuh
berkumandang, tapi dokter belum juga keluar ruangan. Kami memutuskan untuk
sholat subuh dahulu di rumah sakit sambil menunggu bergiliran di depan UGD.
Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh, kesembuhan yang tidak menyisakan
sakitnya. Ya Rabb, hamba memohon kesembuhan atas Dila, adik yang sangat hamba
sayangi. Seorang anak yang begitu mencintai-Mu, agama-Mu, dan Rasul-Mu. Berilah
ia kekuatan dalam melawan sakitnya, berilah ia keikhlasan dalam menghadapai
sakitnya, berilah ia ampunan atas dosa-dosanya. Ya Rahim, Engkau Maha Penyayang
kepada setiap hamba-Mu. Biarkanlah ia mendapatkan kasih sayang-Mu, sehingga ia
masih dapat bertahan untuk membela agama-Mu. Ya Aziz, Engkau Maha Perkasa,
tiada kuasa selain Engkau, tiada daya dan upaya melainkan keridhoan-Mu. Hamba
yakin, kehendak-Mu adalah yang terbaik, takdir-Mu adalah cara-Mu untuk membuat
kami senantiasa lebih dekat dengan-Mu. Hamba yang hina ini memohon, bersimpuh
di bulan yang mulia ini. Kabulkanlah do’a hamba Ya Rabb. Aamiin.
Aku
segera menuju UGD lagi, ibu dan ayah sudah masuk ke dalam ruangan. Langkahku
seakan berat, detak jantungku memompa dengan kencangnya, nafasku terisak-isak,
tubuhku lemas, aku tak sanggup menuju ruangan itu. Aku hanya berharap saat aku
memasuki ruangan, kabar bahagia yang ku dapatkan. Tetapi, do’aku belum dikabul kali
ini. Tidak ada yang mengetahui atas rencana-Nya. Kelahiran, kematian dan jodoh
adalah rahasia-Nya. Tangis memecahkan kesunyian subuh di ruangan ini. Ibu tak
sadarkan diri. Ayah masih menatapi tubuh seorang anak yang kini tinggal jasadnya
yang terbaring kaku. Haikal pun ikut menangis. Aku tak bisa berbuat apapun.
Kupeluk tubuh adikku dan tak henti-hentinya menangis sambil mendo’akannya.
Kenapa secepat ini? Rupanya tadi malam adalah malam terakhir aku mendengar
suara indah Dila melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Malam terakhir kebersamaan
aku dan Dila. Aku semakin sedih saat ingat bahwa hari ini Dila akan menjadi
pemateri acara kajian muslimah disekolahnya.
Hari
kemenangan pun tiba tanpa kehadiran Dila. Adila Nur Fadhiyah, tinggal namanya
yang kini tertera di atas batu nisan. Penyakit radang hatinya tak mampu ia
tahan lagi. Ya, Dila terlalu lelah dengan aktivitasnya dan lupa menjaga
tubuhnya sendiri. Beberapa minggu setelah kepergian Dila, aku membereskan semua
barang-barang yang masih tertata rapi di kamar kami berdua. Target Ramadhan
kami waktu itu, masih tertempel di dinding dengan coretan-coretan tanda checklist pertanda target itu sudah kami
penuhi. Sayangnya kertas Dila tak sepenuh kertasku, ia terlanjur pergi dan tak
bisa memenuhi coretan di atas kertas ini.
Aku mulai ikhlas dengan kepergian
Dila. Tak baik menangisinya berlarut-larut. Aku sadar, semua yang ada di dunia
ini adalah milik-Nya, termasuk Dila. Mau kapanpun dan dimanapun Allah
mengambilnya, itu hak-Nya. Tugasku sekarang adalah mendo’akan Dila. Dila wanita
yang sholihah. Wanita dengan harapan-harapan luar biasa saat aku tak sengaja
membaca tulisan tangannya di sebuah buku kecil berwarna biru. Aku berharap kelak
aku akan bertemu dengan Dila kembali di syurga-Nya. Berkumpul dengan
kekasih-kekasih Allah di syurga-Nya.
0 komentar:
Post a Comment