Samar-samar
pengelihatanku dari kejauhan, dua orang melambaikan tangannya kurang lebih 10
meter dari tempatku berdiri saat itu. Tepat di jalan utama dekat gerbang
sekolah, langkahnya semakin cepat
menghampiriku. Semakin dekat, aku semakin mengenali gerak tubuhnya, ternyata
Rahma dan Eka sahabat dekatku. Hari ini hari sabtu, jadwal rutinku ke sekolah,
setelah hampir satu bulan ini aku melaksanakan Prakerin (Praktek Kerja
Industri). Sekolahku memang cukup berbeda dengan sekolah-sekolah kejuruan lain
pada umumnya. Kami menimba ilmu selama 4 tahun disekolah ini, tiga tahun kegiatan
ekfektif belajar mengajar, satu tahun lagi dipergunakan untuk pelaksanaan
Prakerin (Praktek Kerja Industri), ujian, sidang, dan wisuda kelulusan.
Padahal baru satu
minggu kami tidak bertatap muka, tapi aku sudah sangat rindu pada mereka.
Biasanya saat masih sekolah kami selalu bertemu setiap hari, walaupun kami
berbeda kelas dan jurusan. Kami dipertemukan lewat organisasi islam di sekolah.
Organisasi yang mempertemukanku dengan orang-orang hebat, orang-orang yang
selalu mengingatkanku dalam kebaikan, orang-orang yang mempunyai visi dan misi
yang sama untuk agama kami tercinta, islam. Kupeluk erat tubuh mereka saat itu.
Tanpa berbincang panjang, kami segera menuju mesjid yang terletak
ditengah-tengah infrastruktur sekolah. Pelataran mesjid ini, tempat favoritku
dengan sahabat-sahabat ketika sekolah. Entah itu sekedar bercerita tentang
aktivitas yang kami lakukan seharian, mengerjakan tugas sekolah, tilawah,
sampai membahas masalah-masalah yang terjadi di organisasi kami. Kini tempat
ini ramai oleh adik-adik kami, tidak jauh berbeda aktivitasnya dengan kami
dulu. Kami segera mengambil spot
untuk saling meluapkan keluh kesah kami selama satu minggu ini. Berbagai tema
diangkat dalam perbincangan kami saat itu. Setelah satu bulan kami melaksanakan
Prakerin, banyak suka duka yang kami rasakan. Ya, ternyata dunia industri
sangat jauh berbeda dengan dunia sekolah.
Perbincangan kami
mengarah pada sahabat-sahabat kami yang kini berada diluar kota karena harus
melaksanakan Prakerin disana. Kami sangat rindu pada mereka, sudah satu bulan
ini kami tidak bertemu. Komunikasi kami hanya sebatas melalui sms dan akun social network. Aku sangat bersyukur bisa mengenal mereka,
sahabat-sahabat terbaik yang sengaja Allah kirimkan untukku. Sahabat bukanlah
yang selalu memberikan pujian. Tapi sahabat adalah yang selalu memberikan
kritik, kritik kasih sayang. Bukan juga yang mengenalkan aku pada fashion, food, dan lifestyle masa
kini. Tapi yang mengenalkan aku bagaimana cara mencintai Allah dan RasulNya. Aku
bukan apa-apa tanpa mereka. Aku menjadi lebih baik karna kritik-kritik kasih
sayang yang mereka lontarkan padaku. Ah, ana uhibbukum fillah ukhti.
Pernah sebelum aku
melaksanakan Prakerin, aku berpikir akan sangat kehilangan mereka,
sahabat-sahabat terbaikku. Berkurangnya intensitas bertemu, berkurangnya
komunikasi, berkurangnya alarm-alarm kebaikan yang selalu mengingatkanku ketika
aku mulai keluar dari koridorNya. Baru berpisah dalam jangka waktu yang
ditentukan saja aku sudah merasa akan sangat merasa kehilangan mereka, apalagi
kalau berpisah selama-lamanya? Aku tak bisa membayangkan. Terkadang pikiran
akan sangat mempengaruhi alur kehidupan ini. Benar saja, satu bulan jauh dari
sahabat-sahabat, aku merasa sumber semangatku berkurang. Seharusnya aku tidak
boleh seperti itu, menempatkan Allah sebagai sumber semangat terbesar adalah
hal yang harus diutamakan. Berkurangnya alarm-alarm dari sahabat, seharusnya tidak
membuat ibadahku meredup. Ya, aku harus memperbaiki niat. Segala amal
perbuatanku di dunia, aku sendirilah yang akan mempertanggungjawabkannya kelak,
bukan sahabat-sahabatku.
Kerinduan yang lebih
hebat lagi dirasakan ketika bulan ramadhan menjelang. Ramadhan tahun ini begitu
berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Biasanya kami sibuk menjadi
panitia pesantren kilat disekolah, acara-acara ramadhan, acara bakti sosial,
dan rangkaian kegiatan ramadhan lainnya yang kami lalui bersama-sama. “Jika Ini
Ramadhan Terakhirku”, tema sebuah acara yang pernah kami buat tahun lalu.
Nampaknya masih menjadi bayang-bayang di benak kami akan segala kenangan ketika
kami membuat acara itu. Bagiku itu bukan sekedar tema sebuah acara untuk menarik
minat peserta, tapi itulah yang benar-benar aku rasakan bahkan sampai detik
ini. Jika ini ramadhan terakhirku?
Alhamdulillah, Allah
mengizinkan kami untuk berkumpul kembali di ramadhan tahun ini.
Sahabat-sahabatku yang melaksanakan Prakerin di luar kota menyempatkan untuk
pulang ke Bandung. Meskipun kami berkumpul bukan melalui acara-acara yang biasa
kami buat disekolah, tapi melalui i’tikaf sepuluh malam terakhir yang sangat
berkesan dan begitu mengingatkan kami pada kematian.
Saat itu hari ke 28 ramadhan,
kami beri’tikaf di salah satu mesjid besar di Kota Bandung. Bangun disepertiga
malam adalah kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diungkapkan keindahannya.
Allah turun ke bumi untuk mengampuni dosa hambaNya, mengabulkan do’a-do’a setiap
penduduk bumi, meski dengan susah payah untuk membuka mata dan melawan syetan
melalui rasa lelah dan kantuk. Imam i’tikaf qiyamul lail di mesjid ini adalah
seorang hafidz Al-Qur’an, penghafal kalam Allah. Subhanallah. Qiyamul lail kami
malam ini membaca surat dari juz 26 hingga juz 28. Bukan waktu yang sebentar
memang, berdiri dalam waktu berjam-jam. Tapi apakah surgaNya tak menggiurkan
apabila hanya dibandingkan dengan sholat selama kurang lebih 4 jam? Kadang aku
bodoh, masih hitung-hitungan dalam hal ibadah. Padahal pemberianNya untukku
selama ini sudah sangat tidak terhitung.
Lantunan ayat-ayat
cintaNya memecahkan kesunyian di malam-malam terakhir ramadhan. Bacaan
Al-Qur’an yang fasih dan indah menemani rangkaian qiyamul lail kami. Sesekali
imam menaikkan intonasi bacaannya, sesekali lagi melembutkan bacaannya. Seolah
berinteraksi langsung dengan Rabb Pencipta Alam Semesta. Menyampaikan pesan
yang tersirat dari setiap ayat-ayat Al-Qur’an. Andai saja aku sudah menjadi
seorang hafidzah, pasti akan sangat mudah mengikuti bacaan imam. Ya, suatu saat
nanti aku pun akan menjadi penghafal kalam Allah. Sampai pada surat yang
menceritakan hari akhir, aku memang tidak hafal surat dan terjemah dari surat
itu. Tapi sedikit-sedikit aku bisa memahami maksudnya, dari kata-kata yang sering
aku dengar. Yang aku tangkap surat tersebut menceritakan bahwa pada hari kiamat
manusia terbagi menjadi beberapa golongan. Golongan kanan, golongan kiri, dan
golongan orang-orang yang paling dahulu beriman. Serta balasan bagi
golongan-golongan tersebut. Akan termasuk kedalam golongan apa aku kelak? Ya
Rabb, amalanku masih bisa terhitung jari. Sedangkan dosaku? Sudah tak terhitung
jari.
Derai air mata
membahana, menyelimuti seisi mesjid ini. Seluruh jamaah qiyamul lail tak henti
meneteskan air mata, terisak-isak, tertampar oleh ayat-ayat dalam surat ini.
Termasuk aku. Aku merasa begitu sangat dekat dengan kematian. Apa yang telah
aku persiapkan untuk kematianku? Ya Rabb berilah aku kesempatan hidup lebih
panjang lagi. Sungguh, aku tidak sanggup menyentuh api nerakaMu.
Sekitar pukul 03.30
kami selesai melaksanakan qiyamul lail. Seluruh jamaah meninggalkan ruang utama
mesjid dan segera mencari makan untuk santap sahur. Untungnya, saat i’tikaf
seperti ini banyak pedagang di sekitar mesjid yang menjual berbagai macam
makanan. Selain itu panitia i’tikaf pun menyediakan makan sahur, yang harganya
sangat terjangkau. Jadi tidak perlu khawatir kalau tidak membawa makanan dari
rumah. Akhirnya kami memutuskan untuk sahur dengan nasi goreng. Dengan mata
yang masih sembab, kami menyantap sahur bersama di pelataran mesjid.
****
Beberapa minggu setelah
kepergian ramadhan, aku merasakan keimananku yang naik turun. Mungkin karna selepas
ramadhan imanku tidak di charge melalui
halaqoh, jarangnya aku menghadiri kajian-kajian,
alarm-alarm sahabat-sahabat yang mulai berkurang karena mulai sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, dan aku yang terlalu fokus dengan Prakerinku.
Kehidupanku terasa lurus tak berliku, tak ada tanjakan tak ada turunan. Hampa,
seperti selembar kertas yang melayang bebas tertiup angin dan tidak bisa
mempertahankan dirinya.
Udara subuh menusuk
sampai ke dalam tulangku, rasanya kepala ini berat, ogah-ogahan untuk bangun.
Syetan sedang meninabobokanku dan membiarkan aku untuk terlambat melaksanakan
sholat subuh. Aku paksakan sekuat tenaga untuk bangun. Aku tidak boleh kalah
oleh syetan! Akhirnya aku berhasil bangun dengan kepala yang senut-senut dan
suhu tubuh yang panas. Setelah sholat subuh aku tidak langsung bersiap-siap
untuk Prakerin, aku kembali berbaring di kasur karena aku merasa ada yang tidak
beres dengan kondisi tubuhku. Sudah pukul 06.00 pagi, aku belum juga keluar
dari kamar. Ibu masuk ke kamarku dan melihat anaknya masih berbaring di atas tempat
tidur, karena biasanya jam segini aku sudah berangkat. Ikatan batin seorang ibu
dengan anaknya, tanpa aku bilang aku tidak enak badan, ibu sudah mengerti.
Diletakkan tangannya ke keningku. “Nanti sore kita ke dokter, sekarang sarapan
dulu, nanti ibu belikan bubur ayam”, kata ibu kepadaku. Aku hanya
mengangguk-anggukkan kepala sambil bangun dan menyandarkan tubuhku. Ibu segera
meninggalkan kamarku.
Sudah tiga hari ini aku
istirahat di rumah. Segala aktivitasku terganggu termasuk ibadahku. Tilawahku
menurun, sholat sunnahku berkurang, tapi Allah memang sayang padaku sehingga
sholat wajib tidak akan pernah aku tinggalkan. Sungguh, aku merasa ada yang
hilang dalam diriku. Kehilangan motivasi untuk mengembalikan semuanya seperti
semula. Mungkin ini yang disebut dengan futur. Sekarang aku sedang mengalaminya,
penyakit yang menyerang ruhiyah dan keimanan seseorang. Aku tidak betah dengan
kondisi diri yang seperti ini, tapi aku juga bingung apa yang harusku lakukan
sekarang. Motivasi tidak datang dengan tiba-tiba, butuh perantara yang bisa
menghadirkannya. Sampai esok harinya disaat aku sudah bisa beraktivitas seperti
biasa, disaat sudah bisa melaksanakan Prakerin kembali, penyakit futur itu
terus menyertai kemanapun aku pergi. Aku butuh sahabat-sahabatku, halaqoh,
kajian-kajian, semuanya. Entah, motivasi dari orangtua tidak cukup memerangi kefuturanku.
Sore itu, ketika aku
menuju perjalanan pulang dari tempat Prakerinku. Angkutan umum yang ku tumpangi
berhenti di perempatan lampu lalu lintas. Seorang pemuda berusia sekitar 16
tahun menaiki angkutan yang sedang ku tumpangi sambil membawa gitar kecilnya.
Ia duduk tepat di pintu mobil dengan tubuh mengarah ke jalan. Lampu hijau,
angkutan yang ku tumpangi segera melaju dengan kecepatan yang standar. Anak itu
bernyanyi dengan alunan gitar yang dipetiknya. Tidak terlalu buruk, pikirku.
Suara bising kendaraan saling sahut-sahutan dengan suara anak itu, jadi tidak
terlalu terdengar jelas. Secara kasat mata tampilan anak itu memang tidak
bersih dan tidak rapi, sudah terkontaminasi kehidupan di jalanan yang keras.
Kasihan sekali anak itu.
Sudah separuh lagu ia
nyanyikan, semakin kesini suaranya seperti orang teler. Ku perhatikan matanya seperti orang mengantuk. Tiba-tiba seluruh
penumpang dikejutkan oleh anak itu. Ia terjatuh dari angkutan umum yang sedang
melaju dengan kecepatan standar. Spontan, angkutan yang ku tumpangi berhenti.
Kendaraan-kendaraan disekitar tempat kejadian ini juga ikut berhenti, ingin
mengetahui apa yang terjadi. Dari balik kaca mobil, aku tak henti-hentinya
beristighfar. Pengamen tadi tergeletak di jalan tak berdaya, dengan tubuh yang
kejang-kejang dan busa yang keluar dari mulutnya. Astaghfirullah, anak itu overdosis. Gitar dan uang recehan yang
tersimpan di gelas plastik berceceran di jalan. Orang-orang disekitar tempat
kejadian hanya melongo dan tidak tahu harus melakukan apa. Karena tidak tahu
harus menghubungi siapa. Laju kendaraan pun terhambat karena kejadian ini. Tak
lama kemudian, anak itu diurus oleh polisi setempat dengan kondisi yang telah
tinggal jasadnya. Innalillahi wa innaillaihi raaji’uun. Polisi segera
menertibkan kembali laju kendaraan.
Aku tahu, Allah sangat
sayang padaku. Allah tidak akan membiarkanku terus-menerus dalam kefuturan.
Kejadian pengamen itu seolah menjadi teguran dariNya kalau aku harus bengkit.
Menegurku kalau kematian bisa menghampiri kapan dan dimana saja, dalam kondisi
dan cara apapun. Di setengah perjalanan pulang aku menjadi merenung sendiri.
Bagaimana seandainya kalau nyawaku yang dicabut saat ini? Dalam kondisi keimananku
yang tidak baik. Dalam kondisi kefuturanku. Naudzubillahimindaliik. Ingin
sekali aku cepat-cepat sampai rumah, bersujud kepadaNya, meyesali kefuturanku
beberapa minggu ini. Aku berusaha menahan air mata yang sudah tak sabar ingin
jatuh ke bumi.
Bagaimana kalau
malaikat izrail sekarang sedang bersiap-siap untuk mengambil nyawaku,
orangtuaku, adikku, kakakku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, dan
orang-orang yang aku sayangi? Betapa entengnya aku terhadap mengingat kematian.
Padahal aku tahu, segala yang ada di bumi ini adalah milikNya, termasuk ruh dan
jasadku. Mau kapan pun Allah mengambilnya, itu hakNya. Malam ini aku ingin
berlama-lama dengan Rabb Pencipta langit dan bumi. Memulai lagi semuanya dari
nol. Menghadirkan kembali semangat beribadahku. Kejadian tadi sore benar-benar
menamparku. Seolah menanamkan secara permanen di pikiranku, bahwa kematian itu
dekat, sangat dekat. Aku mencoba mengingat kembali akan semua amalan yang sudah
ku lakukan sampai detik ini.
Dalam keheningan malam
aku meluapkan semua isi hatiku. Sunyi, sepi, sendiri.
“Aku
berlindung kepadaMu dari godaan syetan yang terkutuk
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Ya
Allah, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui
Ya
Rabb, sesungguhnya jodoh dan kematian adalah rahasiaMu
Ya
Ghafar, ampuni segala dosa-dosaku yang terlampau banyak ini
Ampuni
aku yang masih enggan menjalankan perintahMu
Ampuni
aku yang masih sering terlena dengan kehidupan dunia
Ampuni
aku yang masih belum mampu menyempurnakan cintaku untukMu
Aku
menyadari, aku hanya ciptaanMu yang tak kuasa apa-apa
Aku
menyadari...
Sholatku
belum selalu khusyu
Tilawahku
belum cukup menghiasi hari-hariku
Sedekahku
belum seperti sedekahnya para sahabat nabi
Dzikirku
belum cukup membahasi lisanku
Do’aku
belum membahana sampai ke penduduk langit
Hatiku
belum mampu sebening mata air
Langkahku
masih sering berbelok dari jalanMu
Pengelihatanku
masih buram melihat cahayaMu
Pendengaranku
seringkali masih menuruti bisikan-bisikan syetan
Sedang
aku tahu, ajalku begitu dekat
Aku
masih saja lalai terhadap perintahMu
Aku
malu Ya Rabb, aku begitu tak tahu diri
Aku
makhluk yang amat menginginkan perjumpaan denganMu dan RasulMu
Aku
makhluk yang amat menginginkan jannahMu
Aku
makhluk yang amat menginginkan mati dalam syahid dijalanMu
Tetapi,
betapa amalanku belum mampu mengukur jarak jannahMu
Ampuni
aku Ya Ghofar
Tetapkan
aku di jalanMu
Mudahkanlah
aku dalam menaati segala titahMu
Ya
Allah sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan do’a
Dibalik
malamMu yang indah ini, kabulkanlah segala pintaku
Aamiin
Ya Rabbal ‘Alamiin”
Wajahku bersimbah air
mata, aku tenang telah mencurahkan segalanya. Karna dalam salah satu firmanNya
menyebutkan, “Hanya dengan mengingat
Allah, hati menjadi tenang.” Allah memiliki berjuta cara memberikan hidayah
kepada setiap hambaNya.
Allah selalu memberikan
apa yang dibutuhkan hambaNya, bukan apa yang diinginkan hambaNya. Kalaupun
Allah memberikan apa yang kita butuhkan sekaligus apa yang kita inginkan,
bukankah itu sebuah bonus dari Allah untuk kita? Ya, kadang aku tidak
mensyukuri atas apa yang aku alami. Padahal Allah begitu baik padaku.
Aku harus lebih sering
bermuhasabah. Lebih mendekatkan diri padaNya. Terus menanam benih-benih
kebaikan, karena yang akan menuai hasilnya adalah aku sendiri. Alam kubur
begitu gelap, kalau dari sekarang aku tak kumpulkan cahaya-cahaya untuk
meneranginya, aku akan sengsara sendiri. Tak akan ada lagi orangtua, sahabat, dan
orang-orang yang aku sayangi saat di alam kubur nanti. Amalku, Cahayaku. Ya, tak
ada yang bisa membantu kecuali amal kebaikanku sendiri. Dan mengingat kematian
merupakan salah satu cara untuk terus meningkatkan amal kebaikan. Akhirat
adalah kehidupan kekal yang akan aku alami setelah kematian, aku harus camkan
itu dalam benakku, sehingga tak ada lagi kata menunda-nunda kebaikan.
0 komentar:
Post a Comment