Proud With Our Hijab


“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
            Terpancar cahaya keteduhan dari sosok wanita shalihah. Pribadi yang cantik, pintar, lembut, santun, cerdas, bersahaja, dan ungkapan lain yang memiliki makna positif didalamnya. Perangainya adalah ketenangan. Ucapannya adalah kebenaran. Langkahnya adalah perjuangan meniti jalan menuju surga-Nya. Seperti putri tersayang Rasulullah saw, Fatimah Az-Zahra. Sosok wanita shalihah yang menjadi tauladan setiap jiwa-jiwa yang merindukan surga. Wanita shalihah adalah predikat bagi setiap muslimah yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya dalam aturan Sang Khaliq. Membayangkannya, begitu jauh dari diri yang masih berlumur dosa. Apakah kita bisa menjadi salah satu perhiasan dunia? Tak ada jalan buntu bagi hamba yang mau berusaha keras dalam menggapai ridho-Nya.
            Identitas seorang muslimah begitu melekat pada dua hal, islam dan jilbab. Kedua hal ini seperti menjadi elemen yang penting dan tidak dapat dipisahkan. Kalau islam dan jilbab adalah elemen penting dari identitas seorang muslimah, apakah kedua hal itu sudah termasuk kedalam diri kita? Islam adalah dien yang kita bawa sejak lahir, itu tandanya kita sudah memenuhi salah satu elemen penting dari seorang muslimah. Dan jilbab adalah penyempurnanya.
            Memutuskan berjilbab memang bukan perkara yang mudah. Apalagi jika kita berada dalam lingkungan yang kurang kondusif. Banyak hal yang menghalangi sehingga membuat niat kita kembali terkoyah. Memoar latar belakang saya untuk berjilbab tujuh tahun yang lalu memang tidak disertai komitmen yang kuat. Alasan utamanya masih ikut-ikutan teman. Tak ada alasan lain yang mampu memantapkan hati untuk berjilbab. Apalagi saat itu trend rambut dengan berbagai macam model begitu kuat membayangi para wanita. Sehingga saya sempat berpikir, “Sayang banget kalau gak coba model rambut yang ini dan yang itu”. Bukan belum pernah mendengar, tetapi ayat-ayat yang mewajibkan seorang wanita muslim untuk berjilbab belum meresap ke dalam hati. Alhasil, lepas-pakai kerudung masih saya lakukan hingga beranjak kelas tiga SMP. Alasan awal yang hanya ikut-ikutan teman, perlahan mulai bergeser pemahaman sejak saya bergabung di salah satu organisasi islam ketika SMP. Saat itu, bagi saya berjilbab merupakan penggugur kewajiban saja. Tanpa memperhatikan syarat-syarat yang menyertainya. Yang penting tertutup, tidak terlihat rambut, selesai sampai disitu. Mau celana jeans, rok, kaos, itu semua bisa dipakai untuk menutup aurat. Ternyata itu semua pernyataan yang kurang tepat ketika saya telah mengenal jilbab. Allah memang Maha Baik, Dia menurunkan hidayah-Nya ketika saya duduk di bangku SMK. Hati saya tergerak untuk mengikuti kembali organisasi islam di sekolah, yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk mengenal apa arti jilbab yang sesungguhnya.
            “Cinta adalah pembahasan yang tak kunjung usai, dia adalah perkara yang tidak akan pernah ada habisnya.”, begitulah makna cinta yang diungkapkan Ustad Salim A. Fillah. Cinta memiliki makna yang luas, tidak sebatas hubungan antara dua orang insan atau hubungan antara orang tua dengan anaknya, tetapi juga hubungan antara hamba dengan Rabb-nya. Lantas, apa kaitan antara cinta dengan jilbab? Tentu sangat erat kaitannya. Berjilbab adalah salah satu bentuk kecintaan seorang muslimah terhadap Rabb-nya. Tak ada alasan untuk tidak berjilbab apabila seorang hamba telah mencintai Rabb-nya. Sifat cinta adalah pengorbanan. Apa saja dilakukan demi yang dicintai. Tak memandang itu sulit atau mudah, tenang atau berombak, lurus atau berliku, yang terpenting mencapai kepuasan untuk memberikan yang terbaik.
            Bagaimana saya memulai berjilbab? Hasil survey menyatakan banyak wanita muslim yang masih enggan berjilbab karena mereka lebih memilih menjilbabi hati terlebih dahulu. Memang bukan alasan yang buruk. Tetapi, pada kenyataannya menjilbabi hati jauh lebih sulit dibandingkan menjilbabi fisik. Tak ada sumber yang mengharuskan wanita muslim baru boleh menjilbabi fisik setelah menjilbabi hati. Mulailah berjilbab bukan  karena kita telah sempurna menjilbabi hati, sampai kapan pun kita adalah makhluk yang tidak akan pernah sempurna. Tetapi, mulailah berjilbab dengan menghadirkan cinta. Cinta kita pada-Nya. Karena pada hakikatnya, jika sudah cinta apapun akan dilakukan. Termasuk berjilbab.
            Ketika saya memutuskan berjilbab? “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Al-Ahzab : 59).
            Perkuatlah dengan keyakinan kita akan ayat-ayat-Nya. Firman-Nya adalah pasti, petunjuk yang mengantarkan kita pada lembah kebahagiaan. Lingkungan yang baik sangat mempengaruhi naik dan turunnya keyakinan kita. Meski pada hakikatnya berjilbab adalah hidayah yang turun langsung dari Allah. Tetapi, alangkah lebih baik diri kita sendiri lah yang mengupayakan sebab-sebab turunnya hidayah Allah itu. Yaitu dengan berkumpul bersama orang-orang yang bisa memperkuat keyakinan kita.
            Tantangan saya setelah berjilbab? Kerikil-kerikil yang menghalangi kita untuk berjilbab sesungguhnya merupakan bentuk nyata dari salah satu misi syetan yang menghalangi kita untuk menyempurnakan cinta kita pada-Nya. Ingat sahabat, syetan akan terus menggoda kita sampai akhir hayat. Tantangan itu bisa hadir dalam bentuk apapun, misalnya pekerjaan, profesi, hobi, izin orang tua, life style, dan banyak tantangan lain yang membuat kita bimbang untuk berjilbab. Sudah seharusnya kita lebih leluasa untuk berjilbab, karena kita hidup di Negara yang sangat kondusif. Dimana tak ada aturan perundang-undangan yang melarang kita berjilbab. Bahkan banyak wanita yang duduk di kursi parlemen dan berjilbab. Tidak seperti saudari-saudari kita kebanyakan, yang hidup di Negara yang menentang para wanita mengenakan jilbab. Untuk beribadah pun mereka sulit, apalagi untuk berjilbab. “Ada jutaan alasan bagi kita untuk tidak berjilbab, tetapi sesungguhnya lebih banyak jutaan alasan bagi kita untuk berjilbab”, papar Asma Nadia dalam salah satu bukunya.
            Pada awalnya jilbab memaksa kita untuk bersikap menjadi wanita yang lebih baik dalam segala aspek. “Katanya berjilbab tapi masih gini? Katanya berjilbab tapi masih gitu? Katanya berjilbab tapi ga sesuai sama sikapnya? Katanya berjilbab tapi ini, itu, dan sebagainya?”, pertanyaan dan pernyataan yang mungkin masih sering kita dengar pada kalangan muslimah. Seharusnya itu semua memotivasi kita untuk menghilangkan citra “Katanya berjilbab tapi…?”. Kalau awalnya berjilbab itu karena terpaksa, ketika kita menyadarinya ini adalah keterpaksaan yang samasekali tidak merugikan. Right?
Saya yang masih belajar untuk menyempurnakan cinta terhadap-Nya? Sayang, kalau kita berjilbab masih setengah-setengah. Terkesan tipis, membentuk lekukan tubuh, dan beberapa bagian aurat yang terlihat. Pakaian, aksesoris, dan serba-serbi khas wanita lainnya terkadang jauh dari perlengkapan jilbab syar’i (sesuai dengan aturan). Tetapi tidak perlu khawatir, sekarang sudah banyak toko-toko yang menyediakan perlengkapan jilbab syar’i. Dengan begitu semakin mudah langkah kita untuk berjilbab. Perubahan tidak mesti dilakukan sekaligus. Untuk bisa berhitung pun kita tidak langsung bisa mengerjakan rumus-rumus yang rumit. Dimulai dari mengenal angka, operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, setelah itu baru naik ke tahap-tahap selanjutnya. Sama halnya dengan berjilbab. Allah menilai setiap usaha yang kita lakukan.
Bagaimana istiqomah berjilbab? Usaha tidak lengkap tanpa disertai dengan do’a. Do’a adalah kekuatan yang amat dahsyat. Tak ada yang lebih nikmat selain ketika kita berdo’a di hadapan-Nya dengan segala kerendahan hati dan kerendahan diri. Tak ada do’a yang tak Allah dengar. Mintalah untuk di istiqomahkan dalam berjilbab. Banyak kemudahan yang disuguhkan Allah untuk kita, hanya saja kita yang kurang menyadarinya. Hanya terpaku pada satu titik persoalan yang malah mengurungkan niat kita untuk berjilbab.
My First Hijab, dimulai ketika saya berusia 12 tahun. Kenikmatan berjilbab baru bisa saya rasakan ketika saya mengenakannya. Jilbab mengenalkan saya dengan berbagai macam hal seperti keyakinan, pengorbanan, keikhlasan, keistiqomahan dan kekuatan do’a. Yakinlah, pada hakikatnya hidayah berjilbab itu pasti hadir memasuki hati-hati setiap wanita muslim. Diri kita lah pemegang kuncinya. Hanya ada dua pilihan, membuka pintu hidayah itu atau menguncinya rapat-rapat dan membiarkannya berkarat?
Jilbab adalah identitas kita sebagai muslimah. So, Proud With Our Hijab. Persembahkan diri kita dalam paket muslimah yang utuh sahabat, untuk-Nya, karena-Nya.

0 komentar:

Post a Comment