
Cahaya
lampu masih menerangi salah satu ruangan disebuah rumah sederhana ini. Sedang
ruangan yang lainnya sudah tampak gelap karena penghuninya telah tertidur. Di
ruangan yang tidak terlalu besar ini aku dan Zhafira tengah membongkar sebuah
kardus yang berukuran cukup besar. Isinya adalah kiriman pakaian yang masih
baru. Baju, rok, dan kerudung untuk berbagai usia. Semua pakaian ini bukan
untuk dijual tetapi ini adalah kiriman dari seorang dermawan untuk anak-anak
yang tinggal di rumah singgah.
Aku
dan Zhafira kini baru saja lulus kuliah dari salah satu universitas islam
negeri di Kota Bandung. Ini bukan rumah kami berdua, melainkan sebuah rumah singgah
yang kami rintis setelah kami lulus SMA. Kami terlahir dari keluarga yang cukup
mampu, walaupun begitu, semua kebutuhan di rumah singgah ini bukan dari
orangtua kami. Kami mau menerima pemberian dari orangtua kami, asalkan
statusnya sebagai donator rumah singgah, yang harus memenuhi persyaratan donator
yang telah kami buat. Kami juga sudah memiliki beberapa donator tetap yang
berasal dari perorangan atau instansi sekitar. Donasi dari donator kami gunakan
untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah singgah dan biaya sekolah anak-anak.
Rumah
singgah yang kami beri nama Lathifah ini berarti wanita yang lembut dan baik. Karena
penghuni rumah singgah ini seluruhnya adalah wanita. Dari mulai anak-anak
sampai remaja. Ya, rumah singgah ini tidak terlalu besar bahkan baru tercatat
secara legal sejak enam bulan yang lalu. Kurang lebih usia rumah singgah baru 2
tahun lebih 3 bulan. Kini dihuni oleh 15 orang anak wanita. Yang paling besar
ada dua anak yang sekarang duduk di bangku kelas dua SMA. Enam orang duduk di
bangku SMP, empat orang duduk di bangku SD dan tiga orang sisanya belum
sekolah. Aku yang memimpin rumah singgah saat ini, karena dari awal aku membangun rumah singgah ini
sendirian. Saat itu masih ada lima orang anak yang aku bina, statusnya pun
bukan rumah singgah seperti sekarang. Dulu tempatnya masih di rumah orangtuaku.
Rumah
singgah ini mempunyai lima orang pengurus, dua diantaranya adalah Aku dan
Zhafira. Aku sebagai pemimpin sekaligus yang mengajarkan mengaji Al-Qur’an dan
materi TPA pada umumnya. Zhafira sebagai orang yang mengelola administrasi dan
mengajarkan bahasa arab. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Mba Yanti yang
berusia 30 tahun dan sudah memiliki satu orang anak yang masih duduk di bangku
sekolah dasar. Ada juga Mba Dina yang datang dari keluarga sederhana dan masih
seumuran denganku. Mba Yanti dan Mba Dina adalah orang yang setia mengurus
anak-anak selama di rumah singgah. Satu lagi adalah Pak Asep, beliau tidak
menginap disini karena beliau sudah memiliki keluarga. Pak Asep suka
bantu-bantu disini, kadang kalau kami mau berpergian Pak Asep yang mengendarai
mobil. Aku dan Fira datang ke rumah singgah setelah pulang kerja, hari sabtu
dan ahad kami baru bisa seharian ada disini.
“Udah
jam sebelas lebih Aisyah. Besok kita lanjut lagi misahin baju buat anak-anaknya.
Besok kan hari ahad jadi ga ke kantor”. Aku menengok ke arah jam dinding yang
dipasang sebelah kanan tepat dari posisiku saat itu. “Tapi tanggung Fir”, jawabku
yang saat itu masih memisahkan baju untuk anak-anak. “Nanti kesiangan bangun
qiyamul lail loh. Kalo kita kesiangan ga ada yang bangunin anak-anak buat
sholat malam”, Fira mengajakku untuk segera tidur. “Lima menit lagi ya Fir,
kamu kalo mau tidur duluan aja, nanti aku nyusul”, jawabku lagi. “Ya udah aku
duluan tidur ya. Awas jangan terlalu malem”. Fira meninggalkanku sendirian saat
itu, lima belas menit kemudian aku pun segera tidur.
****
Roti
isi coklat, lontong isi sayur, dan susu putih menjadi sarapan kami pagi ini.
Kami berkumpul di ruang tengah di atas karpet coklat yang cukup besar. Kami
memang tidak mempunyai meja makan besar yang cukup untuk menampung seluruh
penghuni rumah singgah. Setiap kali makan ya lesehan seperti ini, tapi ini
samasekali tidak mengurangi hangatnya sebuah keluarga bersama anak-anak yang
sholehah.
Segelas
susu tumpah karena tidak sengaja tertendang oleh kaki Kania yang saat itu
sedang bermain dengan Ami dan Salwa. Tiga orang anak kecil yang belum sekolah
ini memang selalu meramaikan suasana.
“Hah
Kania, tuh kan tumpah, kena baju aku jadinya, mangkanya diem jangan lari-lari”,
kata Icha, salah satu penghuni rumah singgah kelas 4 SD ini memang cukup
sensitif orangnya. “Kania, Ami, Salwa, sini sayang nanti gelas yang lainnya
ketendang juga. Sini Kak Aisyah punya permen nih”, aku mencoba merayu mereka.
Mereka mendekatiku dan aku ajak mereka ke teras depan rumah. Suara motor
berhenti di depan rumah singgah, aku mengenali motornya, itu motor Handika dan
Umam teman kampusku waktu itu, karena mereka adalah orang yang lumayan sering
datang kesini untuk berbagi dengan anak-anak. Apapun mereka bawa dari mulai
makanan, pakaian, buku, atau mainan. Ami dan Salwa sangat mengenali Dika dan
Umam. Segera mereka berlari menghampiri mereka berdua. “Adik Kak Aisyah yang
sholehah, sini dulu, Kak Dika sama Kak Umam nya baru dateng, motornya mau di
masukin ke halaman dulu”, teriakku saat itu. Mereka tidak memperdulikan
suaraku. Setelah menyimpan motornya, Dika dan Umam langsung menggendong Ami dan
Salwa.
Aku
langsung menyuruh mereka masuk ke dalam, beberapa anak yang memang dekat dengan
Dika dan Umam langsung menuju ruang tamu. “Kakak sama Kak Dika bawa buku-buku
cerita nih”, sambil mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. “Pasti bukunya buat
anak-anak aja. Mana yang katanya mau beliin Vika novel?”, celetuk Vika saat
itu. Vika dan Farah adalah anak kelas dua SMA, anak yang paling besar diantara
anak-anak lain di rumah singgah. Tapi sifat Vika sangat jauh berbeda dengan
Farah, padahal usianya sama. Farah jauh lebih dewasa dan sangat memahami
nilai-nilai agama. Sedangkan Vika masih sedikit kekanak-kanakan dan ceplas
ceplos bicaranya. Vika juga sangat mengagumi Umam. “Hush Vika, ga boleh gitu,
ga malu sama ade-adenya”, sahut Farah. “Ga apa-apa Farah, kita bawa kok novel
pesenan Vika”, Umam mencoba mencairkan suasana. “Tuh kan Rah, aku dibeliin
novelnya”, “Dasar Vika, Vika”, Farah langsung menuju ruang tengah dan
melanjutkan membaca majalah yang tadi sedang ia baca.
Anak-anak
sibuk memilih buku-buku yang dibawa Dika dan Umam, sebagian lagi di ruang
tengah dan sibuk membantu Mba Yanti dan Mba Dina dibelakang untuk memasak dan
mencuci. Fira setelah sholat subuh tadi pulang ke rumah dulu, katanya mau
ngambil baju dan perlengkapan lain untuk ke kantor besok. Tidak enak kalau
hanya ada anak-anak kecil, Dika, Umam dan aku wanita sendirian yang sudah dewasa
disini, tidak ditemani muhrim yang lain. “Fira kemana Syah?”, tanya Dika
padaku. Ada perasaan yang berbeda padaku saat Dika menanyakan Fira. “Tadi subuh
pulang dulu ke rumahnya, katanya mau ngambil baju dan perlengkapan lain untuk
ke kantor besok”, dengan tegas dan sambil tidak menatap wajah Dika aku
menjawabnya. Kami mengenal adanya hijab atau batasan antara wanita dan
laki-laki dalam agama kami. Saat aku berbicara tidak menatap pun mereka berdua
sudah terbiasa, karena mereka juga mengerti. Saat di kampus, antara wanita dan
laki-laki sangat terjaga pergaulannya, karena itu yang agama kami ajarkan
kepada kami. “Kira-kira balik lagi kesini jam berapa ya Syah? Saya mau mengambil
buku yang dipinjam Fira waktu itu”, “Kurang tau juga, coba di sms saja. Hemm,
Dika Umam, saya tinggal dulu”, kurang enak kalau aku berlama-lama disitu.
Sambil menuju dapur aku masih tanda tanya besar dengan perasaanku. Ada sesuatu
yang berbeda saat aku berbicara dengan Dika. Atau mungkin aku, ya sudah lah
tidak perlu dipikirkan juga. Istighfar Aisyah, istighfar.
Aku
membawakan dua gelas teh manis untuk Dika dan Umam. Pukul 11 siang Fira kembali
ke rumah singgah. “Assalamu’alaikum. Ada tamu rupanya, sudah lama menunggu ya?”.
Ya, sepertinya Fira sudah buat janji dengan Dika, karena Fira berbicara seperti
itu. Umam terlihat asyik bermain dengan Ami dan Salwa. Fira dan Dika kini asyik
berdiskusi, tidak tau membicaraka apa. Saat di kampus mereka satu kelas, belum
lagi orangtua mereka yang sudah bersahabat sejak lama. Jadi saat mereka masih
kecil, mereka sudah sering bertemu. Fira sering cerita tentang masa lalunya.
Perasaanku semakin tidak karuan, aku terus beristighfar karena aku bingung apa
yang terjadi pada hatiku saat ini. Aku meninggalkan mereka dan menuju ruang
tengah. Aku duduk disebuah kursi dan mengambil buku yang tersusun dilemari
buku. Entah buku apa yang aku ambil, aku hanya membuka halaman demi halaman
tanpa fokus membacanya. Sedangkan pikiranku memikirkan sesuatu. Apa mungkin aku
menyukai Dika? Ah, itu ga mungkin, sebelum-sebelumnya aku biasa saja. Dika
pasti menyukai Fira dan sebaliknya, pikirku. Ya, mereka sudah bersahabat sejak
lama sedangkan aku mengenal Dika baru sejak di kampus dan di organisasi kampus.
Sekarang usiaku 23 tahun, walaupun
masih terbilang muda kadang orangtuaku menanyakan kapan aku mau menggenapkan
setengah dienku. Mereka bilang aku terlalu sibuk dengan berdakwah, mengurusi
anak-anak dan rumah singgah, sehingga mereka merasa aku tidak pernah memikirkan
tentang sesuatu yang sakral ini. Bukannya aku tidak memikirkan, tapi aku
menyerahkan urusan itu pada Allah. Kalau sudah tiba waktunya, pasti nanti ada
seseorang yang datang yang Allah kirimkan untukku.
Ya,
tapi sekarang aku mulai berpikir juga tentang ini. Setengah tahun lagi usiaku
genap 24 tahun. Kuliahku sudah selesai. Menjadi salah satu dari 20 besar
mahasiswa-mahasiswi berprestasi terbaik sudah aku raih. Walaupun baru bekerja
satu tahun, gajiku sudah cukup untuk seorang wanita. Mulai sekarang aku hanya
berusaha memperbaiki diri untuk calon imamku nanti, entah kapan. Aku mau jadi
wanita yang sholehah seperti Fatimah Az-Zahra, Siti Aisyah dan Siti Khadijah.
****
Usai
sholat isya dan tilawah, aku jadi teringat Fira. Sudah tiga minggu ini Fira
jarang sekali ke rumah singgah, aku merasa kesepian. Sms pun jarang di balas. Terakhir
kesini hari sabtu lalu, itu pun hanya sebentar lalu pergi lagi. Mungkin Fira
sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku mengambil handphone dan segera aku
sampaikan rasa rinduku lewat sms. “Assalamu’alaikum. Ukhti cantik, lagi sibuk
ya? Aku kangeeeeeen banget sama kamu Fir, apalagi sama bawelnya kamu. Anak-anak
juga pada kangen sama kamu tuh, pingin belajar bahasa arab sama Kak Fira
katanya. Ana uhibbu kifillah ukhti”, semoga sms ku kali ini dibalas sama Fira.
Sepuluh menit kemudian handphoneku bordering, sms dari Fira. “Wa’alaikumsalam
ukhti sholehah. Apalagi aku, kangennya banget banget sama kamu Syah. Udah tiga
minggu ya aku menghilang, hehe. Afwan ya, ada sesuatu yang harus aku
selesaikan. Mungkin minggu depan aku baru bisa ke rumah singgah dan
menyampaikan kabar bahagia. Salam sama anak-anak ya, Mba Dina, Mba Yanti dan
Pak Asep juga. Uhibbu kifillah”, sms balasan dari Fira cukup mengobati
kerinduanku. Aku jadi penasaran kabar bahagia apa yang mau Fira sampaikan.
Rasanya ingin cepat-cepat minggu depan.
Malam ini aku cukup santai dan ingin
membuka account facebook ku, sudah lama tidak di cek. Aku hanya buka twitter
lewat handphone. Aku menyalakan laptop di ruang tengah, sambil menemani anak-anak
belajar. “Mba Aisyah, mau dibuatkan teh manis?”, Mba Yanti menawarkan. “Hemmm,
boleh Mba. Maaf ya jadi ngerepotin. Ditawarin yang enak sih, jadi ga mungkin
ditolak”, jawabku sambil tersenyum. “Ga apa-apa sekalian, sebentar ya Mba”.
Seberapa lama kah aku tidak membuka
account facebook ku? Terakhir aku update tiga minggu yang lalu, belum terlalu
lama. Tapi banyak sekali permintaan teman dan pemberitahuan. Aku konfirmasi
teman-teman yang aku kenal dan aku lihat semua pemberitahuan. Aku teralih pada
sebuah catatan yang melintas di beranda facebook ku. Catatan Handika El
Shirazy, judulnya hanya sebuah karakter tanda tanya. Tidak bermaksud apa-apa, aku
pun membaca catatan itu. Ada dua orang yang ditandai di catatan itu, Umam dan Fira.
Fira dan Dika? Aku tidak bisa berpikir dewasa saat mengetahui isi catatan itu.
Hatiku tertunduk lesu, pikiranku seperti benang kusut yang tidak bisa
diluruskan kembali, ternyata benar aku memang mencintai Dika. Aku tidak bisa
membohongi perasaanku sendiri. Seharusnya aku sadar dari awal, Dika dan Fira
itu sudah lama bersahabat.
Kalimat demi kalimat aku baca
kembali, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Maha Besar Allah yang menciptakan alam
semesta beserta isinya. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan akal
dan pikiran. Maha Penyayang Allah yang menganugerahkan perasaan cinta kepada
setiap hati manusia. Hidup adalah sebuah skenario yang telah Allah tuliskan.
Dari mulai berperang melawan sel-sel lain di dalam rahim seorang ibu, memasuki
usia anak-anak, remaja dan kini dewasa. Sekolah, kuliah, bekerja, semua sudah
dilewati dengan izinNya. Skenario ini akan kurang lengkap saat belum melewati
salah satu sunnah rasulNya. Usia bukanlah sebuah penghalang saat kita akan
melewati sunnah rasul ini, yang terpenting semua syarat mutlak telah terpenuhi.
Mencari tulang rusuk yang tepat bukanlah hal yang mudah. Perlu perencanaan
matang. Karena ini adalah sebuah tanggung jawab besar. Bisakah seorang anak
adam membawa anak hawa beserta jundi-jundinya ke Syurga yang mulia, dan
sebaliknya? Mungkin saat ini, Allah tengah menuntunku menuju ke jalan ini.
Allah telah memberiku sebuah kunci untuk membuka sebuah lemari kaca yang berisi
berlian yang tak ternilai harganya. Apakah berlian itu mau jika tanganku yang
mengambilnya?”
Tidak salah lagi catatan itu pasti
untuk Fira, sebentar lagi Dika akan menggenapkan setengah diennya bersama Fira.
Ya, aku seharusnya mendukung dan berpikir dewasa. Dika orang yang sholeh dan
bertanggung jawab, pantas mendapatkan seorang Zhafira yang pintar dan sholehah.
Aku jadi teringat kabar bahagia yang akan Fira sampaikan, mungkin tentang ini.
Dan hampir satu bulan Fira menghilang ternyata untuk mempersiapkan ini semua. Aku
tidak menyadari, air mata jatuh ke pipiku dengan derasnya. Icha yang sepertinya
daritadi memperhatikanku sekarang mendekat, “Kak Aisyah?”, tangan kecilnya
mengusap air mataku. “Kak Aisyah kenapa?”, tanyanya heran. “Ga apa-apa sayang,
Kak Aisyah lagi baca cerita di internet, ceritanya sedih banget, jadi Kak
Aisyah nangis deh. Kak Aisyah ke kamar duluan ya”, aku berbohong pada Icha,
anak kecil yang tidak bersalah. Vika dan Farah yang saat itu memperhatikanku
juga, sepertinya mengetahui kalau aku tidak jujur pada Icha. Mereka sudah
tumbuh dewasa, mereka pasti mengerti aku bukan sedang menangisi sebuah cerita.
****
Entah mengapa, hari-hariku saat ini
terasa tidak bersemangat. Mengerjakan apapun aku tidak pernah bisa fokus. Aku
masih memikirkan tentang Dika dan Fira. Dika adalah orang yang pertama kali aku
cintai karenaNya. Aku sangat tulus mencintainya. Seorang pun tidak tahu tentang
perasaanku ini, kecuali Allah dan aku sendiri. Saat di kampus pernah melintas
perasaan ini pada Dika, tapi karena banyak hal yang harus aku urusi saat itu,
aku tidak terlalu memperdulikan perasaanku dan akhirnya terkikis begitu saja.
Awalnya aku mengagumi Dika sebagai sosok yang bertanggung jawab dan memiliki
jiwa sosial yang tinggi. Sekarang, mengapa perasaan kagum itu terus tumbuh
menjadi sebuah perasaan ingin memiliki? Aku wanita bodoh yang mengharapkan
sesuatu yang tidak akan pernah mungkin bisa terjadi.
Sepulang dari kantor aku merasa
sangat lelah dan tubuhku sedikit panas, aku langsung menuju kamar tanpa ku sapa
satu per satu anak-anak yang ada di rumah singgah. Ternyata sudah ada Fira di
kamar, ia menungguku sejak tadi sore. “Aisyah”, wajahnya berbinar bahagia ia
langsung memelukku dengan eratnya. “Aku kangen banget sama kamu, hampir satu
bulan kita ga ketemu”. Aku pun memeluknya dengan erat, “Sama Fir, aku juga
kangen banget sama kamu”. Kami pun duduk di atas tempat tidur dan berbincang
banyak, seperti sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Padahal hanya
satu bulan saja kami tidak bertatap muka. Akhirnya perbincangan kami pun
mengarah pada kabar bahagia yang waktu itu akan Fira sampaikan.
“Oh iya Fir, berita bahagia apa?
Jadi penasaran nih”, aku memulainya.
Fira hanya tersenyum dan menggengam
tanganku.
“Hemmm sepertinya aku akan
mendahului kamu. Aku telah menemukan tulang rusuk yang selama ini dirahasiakan
keberadaannya oleh Allah. Satu bulan lalu, seseorang datang ke orangtuaku.
Orangtuaku merestuinya. Aku memang sudah lama juga menaruh hati padanya.
Do’akan aku ya Syah, rencananya dua bulan lagi”.
Aku memeluk Fira dan lagi-lagi aku
tidak sadar saat air mata mengalir di pipiku.
“Selamat ya Fir, akhirnya kamu
menemukan tulang rusuk yang selama ini kamu cari. Aku pasti do’akan yang
terbaik buat kamu”.
Fira melepaskan pelukannya.
“Makasih
ya Syah. Aku do’akan juga kamu segera menyusul. Oh iya kamu juga mengenali
siapa orangnya. Tapi kamu ga perlu tau sekarang”.
“Oh
ya? Siapa ya aku jadi penasaran?”.
“Nanti
kalau waktunya tepat aku pasti kasih tau. Kok kamu jadi nangis gitu sih, ga
usah nangis gitu dong. Aku kan ga akan pergi kemana-mana lagi”.
“Aku
nangis bahagia tau, aku terharu aja sahabatku sekarang sudah mau dibawa orang
lain, nanti siapa yang ngurusin rumah singgah ini, kamu tega ya ninggalin aku
sendirian”.
Aku
sendiri pun bingung aku menangis karena apa. Karena berita bahagia ini? Atau
karena hatiku yang belum bisa menerima semua ini.
****
Pagi
ini kepalaku sangat berat. Aku tidak bisa bangun dari tempat tidurku. Fira yang
saat itu akan siap-siap ke kantor segera menghampiriku saat melihat aku kesulitan
untuk bangun. Disentuhnya kening dan leherku saat itu. “Astaghfirullah, badan
kamu panas banget Syah. Kita ke dokter sekarang ya”. Aku tidak menjawab apapun,
aku langsung dibawanya ke dalam mobil. Fira menghubungi orangtuaku dan
menjemput ummi di rumah. Ternyata ummi sudah siap-siap di depan pintu pagar.
“Pantes tadi malam ummi ga bisa tidur, ternyata kamu sakit Syah”, diperjalanan
ummi terus memijit kepalaku, walaupun sudah besar begini ummi masih saja
memperlakukan aku seperti anak kecilnya. “Iya nih ummi, Aisyah ga bilang kalo
sakit. Tadi pagi tiba-tiba udah panas banget badannya, Fira jadi khawatir
takutnya kenapa-kenapa”, Fira menyahut sambil mengendarai mobil. “Jadi
ngerepotin nak Fira, ke kantornya jadi terlambat ya Fir?”, jawab ummi. “Ga apa-apa
ko ummi, Fira udah izin telat”.
Aku
masuk ke ruang pemeriksaan dengan ummi. Setelah mengantar ke rumah sakit, Fira
langsung pergi ke kantornya. Ummi sudah menelepon Nuril untuk menjemput aku dan
ummi nanti, adikku yang laki-laki yang saat ini sedang libur semester kuliah.
Aku jadi merepotkan banyak orang. Ternyata aku hanya kecapean saja, darahku
rendah dan maag ku kambuh karena akhir-akhir ini aku tidak teratur makan. Nuril
sudah menunggu di depan rumah sakit, kami pun segera menaiki mobil. Kali ini
aku pulang ke rumah, untuk beberapa hari ini sampai aku sembuh total baru aku
akan kembali ke rumah singgah. Hari ini juga aku izin masuk kantor. Banyak pekerjaan
yang aku tinggalkan rupanya.
Sudah
empat hari aku diam dirumah, badanku sudah mulai segar kembali. Dari ruang
tengah, terdengar suara orang yang mengetuk pintu rumah. “Nuril tolong bukain
pintunya, ada tamu kayanya”. Nuril langsung membukakan pintunya, “Eh Kak Fira,
Kak Dika, Ka Umam, hemmm sama Kania ya, ayo masuk”. Dika, Umam dan Nuril
berbincang di ruang tamu, Fira dan Kania langsung menghampiriku di ruang
tengah. “Gimana udah baikan Syah?”, tanya Fira padaku, “Alhamdulillah udah
baikan Fir. Eh Kania, sini sayang, Kak Aisyah kangen banget sama anak-anak di
rumah singgah”. “Dika sama Umam katanya mau jenguk kamu, nih mereka bawain
makanan buat kamu Syah”. Fira memberikan dua kantung kresek berwarna putih,
yang satu dari Dika dan yang satu dari Umam. Sudah hampir satu jam mereka ada
disini, Fira harus kembali ke rumah singgah, Dika dan Umam juga punya urusan
masing-masing. Dika dan Umam menuju ruang tengah untuk melihat keadanku
sekaligus mau pamit pulang. “Aisyah, kita pamit pulang ya, syafakillah”, kata
Umam saat itu. “Syafakillah Syah, udah ditunggu sama anak-anak tuh di rumah
singgah. Afwan ganggu waktu istirahatnya. Kita pamit pulang dulu.
Assalamu’alaikum”, ucapan Dika saat itu membuatku teringat pada rencana pernikahan
Dika dan Fira dua bulan kedepan.
****
Di
kantin tempat kerja Dika dan Umam. Mereka memperbincangkan sesuatu yang serius.
“Mam,
afwan ya kalo akhir-akhir ini saya sering berkomunikasi dengan Fira”, Dika
meminta maaf pada Umam.
“Ya
silahkan aja, saya tau kalian berdua sudah bersahabat sejak kecil. Jadi pasti
kalian sudah seperti kakak dan adik.
Asal jangan kamu ambil Zhafira dari saya ya. Dua minggu lagi, jadi dag
dig dug nih Dik”, jawab Umam.
“Santai
aja bang, saya segera menyusul kamu dan Fira. Fira wanita baik, jaga dia
baik-baik. Saya sudah anggap Fira seperti adik saya sendiri”, Dika menegaskan.
“Siap
bang! Ngomong-ngomong, kapan mau menyerahkan proposal pada orangtua dan murabbi
akhwat itu?”, Umam mengalihkan pembicaraannya.
“Mungkin
setelah kamu dan Fira menikah. Saya harus memantapkan hati dan mencari tahu
banyak informasi tentang akhwat itu. Salah satunya ya lewat Fira dan
murabbinya. Murabbinya sudah saya hubungi. Kalau waktunya sudah tepat saya
hubungi dia dan orangtuanya”, jawab Dika mantap.
****
Satu bulan lebih dua minggu berlalu, ini
berarti dua minggu lagi mendekati hari H, pernikahan Dika dan Fira. Tapi sampai
saat ini Fira belum mau memberitahu siapa calon imamnya kepadaku. Fira sibuk
mempersiapkan pernikahannya dan jarang sekali datang ke rumah singgah. Handphoneku
berdering, satu pesan masuk dari ummi Meyda, murabbiku. “Assalamu’alaikum wr
wb. Ukhti, punya waktu sore ini? Ada hal yang harus disampaikan, ummi tunggu di
mesjid dekat kantormu ya”.
Sore
ini aku langsung menuju mesjid dekat kantorku, ummi Meyda sudah menungguku
disana. Tanpa berbicara panjang, ummi langsung menyampaikan maksudnya ingin
bertemu denganku. Katanya ada seseorang yang mengkhitbahku, yang ingin menjadikan aku
istrinya. Aku sangat kaget, sedangkan hatiku belum bisa berpaling dari Dika, sosok
laki-laki yang aku inginkan, yang sebentar lagi akan menikah dengan sahabatku
Fira. Tapi kalau aku terus dihantui perasaan seperti ini malah akan menyakiti
hatiku sendiri. Aku mulai ikhlas dan menerima semuanya. Aku mulai membuka
hatiku untuk laki-laki yang akan mengkhitbahku sekarang. Pilihan murabbiku
pasti yang terbaik untukku. “Aisyah, ikhwan yang datang pada ummi sepertinya
sungguh-sungguh. Ummi mengenalnya sebagai ikhwan yang sholeh dan bertanggung
jawab. Amalannya bagus, sikapnya baik, ummi rasa ikhwan ini baik untuk mu. Dia
juga sudah mengenalmu, kamu juga mengenalnya”, papar ummi. “Memang ada yang mau
mengkhitbahku ummi, laki-laki mana yang mau menjadikan aku istrinya?”, jawabku
merendah. “Buktinya ada yang menghubungi ummi untuk mengkhitbahmu”, jelas ummi
lagi. “Kalau boleh tau, siapa ummi orangnya? Supaya Aisyah mudah untuk
menjalankan proses ta’aruf”. “Laki-laki itu teman kampusmu, namanya Handika El
Shirazy”, jawab ummi.
Apa
aku tidak salah dengar? Dika? Bukankah dia akan segera menikah dengan Fira?
Apakah ini Dika yang lain? Tapi ini jelas-jelas Dika, laki-laki yang aku
cintai. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Aku jadi semakin tidak mengerti. Aku
terdiam tidak berbicara apapun, wajahku terlihat bingung saat itu. “Bagaimana
Aisyah? Apa kamu akan menerimanya?”, tanya ummi. Aku terdiam lagi. “Aisyah?”,
tanya ummi lagi. “Aisyah belum tau ummi, nanti Aisyah kabarkan lagi, beri
Aisyah waktu tiga hari saja”.
Kalimat
itu mengakhiri perbincanganku dengan ummi. Di perjalanan pulang aku seperti
orang bodoh yang baru saja turun dari roller coaster. Banyak pertanyaan
dikepalaku, jawabanku sekarang hanya satu, Fira. Saat itu juga aku langsung
menuju rumah Fira. Pintu rumahnya terbuka, ada Fira sendirian di ruang tamu
yang sedang menyusun undangan pernikahan. “Assalamu’alaikum”, “Wa’alaikumsalam,
eh Aisyah sini masuk”, jawab Fira. Aku langsung mengambil salah satu undangan
yang menumpuk di atas meja. Undangan Pernikahan, Umam Ramadhana & Zhafira
Nur Kamilah.
“Umam?”,
tanyaku kaget.
“Iya,
tadinya aku mau ngasih tau nanti, tapi kamu udah keburu liat undangannya, jadi
ketauan deh”, jawab Fira.
“Aku
jadi ga ngerti sama semuanya. Bukannya kau mau nikah sama Dika kan?”.
“Dika?
Jadi selama ini kamu kira laki-laki yang mau menikahiku Dika? Dia udah kaya
abangku sendiri. Ga mungkin lah aku nikah sama dia, aku udah tau sifat konyolnya
kaya gimana waktu kecil. Kayanya kamu emang udah harus tau yang sebenarnya Syah”,
jawab Fira sambil tertawa.
“Kamu,
Umam, Dika, Ummi Meyda, berhasil bikin aku kaya orang bodoh tau ga?”, kataku
kesal.
“Afwan
ya. Masa seorang Aisyah yang sholehah, calon hafizah yang tinggal lima juz itu
kaya orang bodoh sih? Ga keliatan ko kaya orang bodohnya”, canda Fira.
Aku
melempar Fira dengan bantal yang ada di kursi.
“Aduh
Aisyah, jahat banget sih”, katanya masih tertawa.
Dengan
perasaan yang lega, aku menceritakan tentang maksud Dika yang mau
mengkhitbahku.
****
Hari
yang sakral untuk Fira dan Umam tiba juga. Mereka kini resmi menjadi sepasang
suami istri yang siap membentuk keluarga yang sakinah. Satu minggu setelah
pernikahan mereka, Dika datang ke orangtuaku. Aku pun menerimanya. Tiga bulan
menjalani proses ta’aruf, kami langsung mempererat ikatannya dengan ucapan
janji suci.
Inilah skenario
cinta-Nya yang telah dipersiapkan untukku. Kini aku bahagia hidup bersama
seseorang yang aku cintai dengan tulus, begitupun sebaliknya, Dika mencintaiku
dengan sangat tulus. Tak pernah terbesit sedikit pun dipikiranku kalau akhirnya
akan indah seperti ini. Tentang catatan di facebook waktu itu, ternyata itu
ditujukan untukku. Katanya sekarang berlian yang tak ternilai harganya itu
sudah menjadi miliknya.
0 komentar:
Post a Comment