Masih turun kabut |
Pasti nunggu-nunggu
kelanjutannya kan? Yes si aku pede banget minta ditimpuk carrier. Yang jelas tulisan ini untuk melunasi janji cerita Gunung Guntur yang sempat tertunda. Gak terlalu panjang, tapi mudah-mudahan mengobati rasa rindu akan Gunung yang terletak di Kota Garut tersebut. Let's begin..
Angin berhembus lebih kencang menerpa tenda kami. Aku mengikat syal sekali lagi, memastikan tubuh ini siap menerima udara dingin diluar sana. Langit tidak hitam pekat, sudah terlihat sabut-sabut kapas dibeberapa bagiannya. Usai melaksanakan sholat subuh, kami bersiap menikmati sunrise. Tapi teringat salah satu teman yang masih tertinggal dibawah. Oh iya, sebelum subuh tadi Wahyu sempat menelepon Aisyah untuk menjemputnya dibawah yang tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Akhirnya, Aisyah menjemput Wahyu seorang diri. Keren gak tuh Teh Aisyah, gak kalah keren sama sinyal telepon yang masih kenceng di gunung setinggi ini.
Bersamaan
dengan itu moment yang ditunggu-tunggu datang juga. Lautan awan dengan view
gunung Cikuray dan Papandayan. Sungguh gak bisa digambarkan dengan kata-kata. Para
pendaki mulai berbondong-bondong untuk mengabadikan lukisan Tuhan ini. Tapi
guys, kita harus selalu ingat. Tujuan mendaki bukan hanya sekedar koleksi foto
keren, lebih dari itu melibatkan perasaan *Pidi Baiq mode on* Eh bukan juga,
pokoknya lebih dari itu yang kalian rasakan, terlalu rendah kalau tujuannya
hanya untuk selfie atau stok foto instagram.
Sementara
yang lain sarapan, aku dan beberapa teman menuju kawah yang gak jauh dari
tempat kami mendirikan tenda. Kami berjalan kurang lebih lima menit untuk
sampai disana. Banyak juga pendaki yang mendirikan tenda di sekitar kawah ini.
Puncak dua juga terlihat jelas darisini. Untuk sampai puncak dua kita harus
berjalan lagi sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Masih ada puncak tiga
dan puncak empat yang memiliki waktu tempuh beberapa jam lagi. Tapi kita
mengurungkan niat untuk sampai puncak empat mengingat waktu dan kondisi yang
gak memungkinkan.
Puas
menikmati keindahan Kota Garut dari Gunung Guntur, kami bersiap pulang. Pulang?
Iya waktunya bongkar tenda dan bongkar kenangan bersama kamu. Plis jangan
baper. Sebentar banget ya, kenapa gak semalem lagi gitu? Engga dulu deh, cukup
semalem aja drama Guntur ini. Lain kali kita pasti balik lagi kok, tapi gak tau
kapan.
Drama
selanjutnya dimulai. Menuruni Gunung Guntur dengan adegan-adegan yang bikin
jari kaki bengkak, celana sobek, dan menguji keshabaran. Perlu teknik khusus biar
gak tisereleu, tisoledad, bin tikosewad. Material pasir dan berbatu membuat
kami cukup kesulitan untuk berpijak, jadi sangat disarankan bawa trekking pole.
Cara terakhir menuruni Gunung ini kalau gak bisa pake trekking pole atau
pegangan rumput kanan kiri adalah meluncur dengan bebas. Yeaaaay, kayaknya cara
ini paling aman buat si aku. Alhasil sosorodotan dari atas sampai bawah udah
kayak anak PAUD yang kegirangan dikasih mainan. Udah gak peduli deh sama status
mahasiswa yang melekat. Mahasiswa juga perlu hiburan macem anak PAUD gini haha.
Perjalanan
dari puncak satu sampai pos tiga cukup jauh dan gak ada tempat berteduh. Karena
Gunung Guntur ini gak punya atap alias gunung gundul, jadi kalau mau istirahat
harus cari pohon yang agak tinggi. Setelah melalui drama sosorodotan tanpa
ampun, sampailah kita di pos tiga. Banyak banget yang mendirikan tenda disini.
Udah kayak tenda pengungsian saking banyaknya baju yang digantung diantara
tali-tali tenda dan orang-orang yang masak depannya. Kita istirahat sebentar
disini, ngelurusin kaki, dan ngelurusin hati yang mulai bengkok. Plis jangan
baper, minta ditimpuk carrier lagi.
Lanjut
ke curug citiis untuk menyegarkan badan. Didekat curug ini ada warung, jadi
jangan khawatir kalau misalnya kehabisan makanan atau minuman. Kebayang gak sih
effort bawa barang dagangannya kesini? Jarak curug citiis ke pemukiman warga jauh
banget loh. Bawa diri aja udah ngos-ngosan. Semoga bapak ibu akang teteh yang
jualan disini mendapat rezeki dan keberkahan yang melimpah ya. Aamiin.
Perjalanan
pulang ini gak kalah seru dengan berangkatnya. Bedanya waktu berangkat
kita mendaki malem dengan drama jarak pandang yang gak jelas, pulangnya siang panas mentereng yang membuat
sebagian kulit tanganku gosong sampai sekarang. Jadi sebelum mendaki disarankan pakai sunblock dan sarung tangan supaya terik mataharinya gak langsung menyentuh kulit.
Perjalanan
belum usai, masih harus melewati trek-trek yang menguji keshabaran. Karena
waktu berangkat gak lewat jalur ini, jadi kita gak tau sampai dimana ujungnya. Setelah
lewat hutan yang gak terlalu rimbun kita melewati jalan mendatar yang cukup
lebar, kayaknya sih ini jalur truk pengangkut pasir. Aku udah mulai sempoyongan
dan gak seimbang. Berkali-kali tisereleu walau gak sampai jatuh. Beruntung ada
teman-teman yang berbaik hati menolong selama perjalanan pulang. Da aku mah apa
atuh tanpa kalian.
Setelah
melalui perjalanan panjang, akhirnya kita sampai di basecamp jam setengah empat
sore. Langsung bersih-bersih dan istirahat. Mengingat Bapak (yang lupa namanya)
udah jemput, jadi kita langsung naik-naikin barang kedalam mobil. Dan
teman-teman yang lain pulang ke kotanya masing-masing.
Kebersamaan
kita gak berakhir sampai disini, masih banyak perjalanan lain yang pastinya gak
kalah seru. Guntur memberikan banyak pelajaran berharga padaku, tentang waktu,
tentang syukur, tentang shabar, tentang jiwa-jiwa penolong, dan tentang ke-Maha
Besar-an nya yang tiada ujung.
Gilee Tia keren banget masih tahan pake rok ._.
ReplyDelete